Kuliah Versi Mahasiswa: Dilema Hasil Tambang dan Pajak Pertambahan Nilai (Riyan Al Fajri)
Pertambangan adalah sektor industry khusus yang berbeda dengan industri yang lainnya, pertambangan memiliki resiko dua kali lebih besar. kebanyakan industri lain cukup melakukan research and development dengan biaya yang bisa hampir dipastikan memperoleh hasil. Apakah nantinya prototype bisa diproduksi masal, itu akan dilakukan tinjauan lebih lanjut sedangkan Pertambangan selain melakukan research, pengusaha diharuskan melakukan eksplorasi di lapangan. Ini terkait dengan sumber mineral alam. Kesalahan hitungan persekian koma saja bisa mengakibatkan tidak ditemukannya daerah tambang yang diperkirakan.
Umumnya, pertambangan memiliki 4 kegiatan usaha pokok yakni eksplorasi (exploration), pengembangan dan konstruksi (development and construction), produksi (production) dan pengolahan (refinery). Eksplorasi dilakukan karena tambang memiliki ketidakpastian yang tinggi sehingga perlu perhitungan yang sangat cermat. Proses yang lainnya pun harus dilakukan dengan sangat hati-hati sehingga perlu biaya yang besar atas hasil investasi yang besar pula.
Dilain pihak, Pertambangan juga harus menghadapi resiko pasar dan ketidakstabilan harga. Produk pertambangan yang non-renewable ini memiliki saingan dalam industri lain. Contoh Batubara, batubara meski masih memiliki pangsa pasar yang besar di dunia, namun kehadiran alternative seperti nuklir dan pemanfaatan energi geothermal memberikan pengaruh pasang surut pada harga batubara. Apalagi fluktuasi nilai tukar kurs. Konsumen dari pertambangan sebagian besar bukan konsumen dalam negeri. Indonesia tercatat sebagai eksportir batubara terbesar di dunia sekaligus Negara dengan cadangan batubara terbesar didunia. Tentu, nilai kurs akan mempengaruhi untung-rugi perusahaan tambang.
Indonesia sebagai Negara yang pembangunannya ditopang oleh kehadiran tambang ini baik itu minyak dan gas bumi ataupun batubara serta barang tambang lainnya tentu harus memikirkan sedemikian rupa iklim investasi yang mendukung. Kita tidak ingin tambang batubara contohnya mengalami penurunan investasi yang akan mengakibatkan pada menurunkan PDB nasional. Instrumen yang bisa dimanfaatkan pemerintah adalah perlakukan Pajak. Pemerintah sebagai pengendali fiskal utama didalam Negara harusnya mampu mengakomodir kepentingan Negara, masyarakat dan pengusaha tambang agar tercipta simbiosis mutualisme
Perlu pula dipertimbangkan bahwa pertambangan memiliki potensi perpajakan yang besar untuk Indonesia. Pemanfaatan potensi ini akan bisa melambungkan penerimaan pajak. Sebagaimana Filosofi utama PPN adalah penanggungnya adalah end-user. Maka tentu, pengenaan PPN atas barang tambang tidak akan memberikan pengaruh buruk pada pengusaha tambang. Memang, pengguna hasil tambang akan mendapatkan sedikit beban lebih berat. namun, pilihan ini perlu kita tempuh apabila kita ingin menggenjot penerimaan pajak.
Indonesia dalam UU PPN yang baru, UU No.42 Tahun 2009, telah membebaskan barang tambang (dengan ketentuan) atas PPN:
Potensi penerimaan ini bisa dilihat dari pengguna dari barang tambang ini. Didalam negeri, pengguna barang tambang didominasi oleh industri dan rumah tangga. Jika PPN dapat dipungut dari jutaan rumah dan ribuan industri di Indonesia sudah bisa dipastikan penerimaan akan sangat besar mengingat statistik BPS Februari 2012 sektor Industri pertambangan dan penggalian menyumbang 12,5% pembentuk PDB pada Triwulan ke 4 2011 (sekitar Rp 239,9 triliun). Bayangkan jika dari PDB itu dikenai PPN 10%?
Rumus:
Kenaikan Y = kenaikan G x (1/ ((1 - bC)(1 - bT) + bM))
bC = Marginal Propensity to consume (MPC= Kenaikan C/ Kenaikan Y)
bT = original Income tax rate
bM = Marginal Propensity to Import (MPM= Kenaikan M/ Kenaikan Y)
Kenapa Belanja Pemerintah bisa berubah ketika penerimaan pajak meningkat? Indonesia adalah Negara dengan APBN sistem defisit. Jadi Belanja Pemerintah di optimalkan meski tidak cukup penerimaan. Penambahan penerimaan akan mengurangi pembiayaan. Hasilnya adalah ketersediaan dana yang lebih banyak. Pemerintah bisa melakukan perubahan APBN lalu menganggarkan kembali Belanja Pembangunan. Misal pemerintah menaikkan G 10 triliun, dengan bC = 0.75 , bT = 10%, bM = 0,1, maka peningkatan PDB adalah Rp 80 triliun.
Namun, apabila kembali dikenakan PPN, bukan berarti tidak ada masalah yang akan muncul. Pengenaan PPN akan mengakibatkan pemerintah harus merestitusi PPN tersebut apabila dilakukan ekspor. Indonesia sebagai salah satu Negara pengekspor terbesar tambang tentu ini akan memberatkan keuangan Negara.
Kita hanya perlu meracik aturan yang lebih sempurna untuk memberikan keuntungan prospektif bagi penerimaan Negara, pengusaha dan pengguna dari barang tersebut sehingga tercipta win-win solution karena Negara yang kuat adalah Negara yang melindungi setiap komponen dan mengakomodir setiap kepentingan yang ada pada Negara.
DAFTAR PUSTAKA
BPS. 2012. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi Februari 2012. Edisi 21. Jakarta: BPS
Marginal Propensity to Import. http://www.amosweb.com/cgi-bin/awb_nav.pl?s=wpd&c=dsp&k=marginal+propensity+to+import (diakses pada 16 Maret 2012).
The Output Multiplier. http://www.econweb.com/MacroWelcome/multiplier/notes.html
(diakses pada 16 Maret 2012)
Fiscal Multiplier. http://en.wikipedia.org/wiki/Fiscal_multiplier (diakses pada 16 Maret 2012)
Pedoman Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan Emiten atau Perusahaan Publik Industri Pertambangan Umum.
Uu Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan UU Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Umumnya, pertambangan memiliki 4 kegiatan usaha pokok yakni eksplorasi (exploration), pengembangan dan konstruksi (development and construction), produksi (production) dan pengolahan (refinery). Eksplorasi dilakukan karena tambang memiliki ketidakpastian yang tinggi sehingga perlu perhitungan yang sangat cermat. Proses yang lainnya pun harus dilakukan dengan sangat hati-hati sehingga perlu biaya yang besar atas hasil investasi yang besar pula.
Dilain pihak, Pertambangan juga harus menghadapi resiko pasar dan ketidakstabilan harga. Produk pertambangan yang non-renewable ini memiliki saingan dalam industri lain. Contoh Batubara, batubara meski masih memiliki pangsa pasar yang besar di dunia, namun kehadiran alternative seperti nuklir dan pemanfaatan energi geothermal memberikan pengaruh pasang surut pada harga batubara. Apalagi fluktuasi nilai tukar kurs. Konsumen dari pertambangan sebagian besar bukan konsumen dalam negeri. Indonesia tercatat sebagai eksportir batubara terbesar di dunia sekaligus Negara dengan cadangan batubara terbesar didunia. Tentu, nilai kurs akan mempengaruhi untung-rugi perusahaan tambang.
Indonesia sebagai Negara yang pembangunannya ditopang oleh kehadiran tambang ini baik itu minyak dan gas bumi ataupun batubara serta barang tambang lainnya tentu harus memikirkan sedemikian rupa iklim investasi yang mendukung. Kita tidak ingin tambang batubara contohnya mengalami penurunan investasi yang akan mengakibatkan pada menurunkan PDB nasional. Instrumen yang bisa dimanfaatkan pemerintah adalah perlakukan Pajak. Pemerintah sebagai pengendali fiskal utama didalam Negara harusnya mampu mengakomodir kepentingan Negara, masyarakat dan pengusaha tambang agar tercipta simbiosis mutualisme
Perlu pula dipertimbangkan bahwa pertambangan memiliki potensi perpajakan yang besar untuk Indonesia. Pemanfaatan potensi ini akan bisa melambungkan penerimaan pajak. Sebagaimana Filosofi utama PPN adalah penanggungnya adalah end-user. Maka tentu, pengenaan PPN atas barang tambang tidak akan memberikan pengaruh buruk pada pengusaha tambang. Memang, pengguna hasil tambang akan mendapatkan sedikit beban lebih berat. namun, pilihan ini perlu kita tempuh apabila kita ingin menggenjot penerimaan pajak.
Indonesia dalam UU PPN yang baru, UU No.42 Tahun 2009, telah membebaskan barang tambang (dengan ketentuan) atas PPN:
“2) Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikutPenjelasan Undang-Undang ini adalah
a. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
b….”
“Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dariTentu bukan tidak ada maksud dari tujuan pelepasan itu. hanya saja Pilihan untuk tetap mengenakan PPN atas barang tambang juga perlu dipertimbangkan. Beberapa akibat negatif yang dapat ditimbulkan jika PPN barang tambang tetap dibebaskan adalah:
sumbernya meliputi:
a. minyak mentah (crude oil);
b. gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh
masyarakat;
c. panas bumi;
d. asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata,
bentonit, dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips,
kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif, zeolit, basal, dan trakkit;
e. batubara sebelum diproses menjadi briket batubara; dan
f. bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta bijih bauksit.”
- Penerimaan Pajak Berkurang
Potensi penerimaan ini bisa dilihat dari pengguna dari barang tambang ini. Didalam negeri, pengguna barang tambang didominasi oleh industri dan rumah tangga. Jika PPN dapat dipungut dari jutaan rumah dan ribuan industri di Indonesia sudah bisa dipastikan penerimaan akan sangat besar mengingat statistik BPS Februari 2012 sektor Industri pertambangan dan penggalian menyumbang 12,5% pembentuk PDB pada Triwulan ke 4 2011 (sekitar Rp 239,9 triliun). Bayangkan jika dari PDB itu dikenai PPN 10%?
- PDB tidak mendapatkan efek maksimal
Rumus:
Kenaikan Y = kenaikan G x (1/ ((1 - bC)(1 - bT) + bM))
bC = Marginal Propensity to consume (MPC= Kenaikan C/ Kenaikan Y)
bT = original Income tax rate
bM = Marginal Propensity to Import (MPM= Kenaikan M/ Kenaikan Y)
Kenapa Belanja Pemerintah bisa berubah ketika penerimaan pajak meningkat? Indonesia adalah Negara dengan APBN sistem defisit. Jadi Belanja Pemerintah di optimalkan meski tidak cukup penerimaan. Penambahan penerimaan akan mengurangi pembiayaan. Hasilnya adalah ketersediaan dana yang lebih banyak. Pemerintah bisa melakukan perubahan APBN lalu menganggarkan kembali Belanja Pembangunan. Misal pemerintah menaikkan G 10 triliun, dengan bC = 0.75 , bT = 10%, bM = 0,1, maka peningkatan PDB adalah Rp 80 triliun.
Namun, apabila kembali dikenakan PPN, bukan berarti tidak ada masalah yang akan muncul. Pengenaan PPN akan mengakibatkan pemerintah harus merestitusi PPN tersebut apabila dilakukan ekspor. Indonesia sebagai salah satu Negara pengekspor terbesar tambang tentu ini akan memberatkan keuangan Negara.
Kita hanya perlu meracik aturan yang lebih sempurna untuk memberikan keuntungan prospektif bagi penerimaan Negara, pengusaha dan pengguna dari barang tersebut sehingga tercipta win-win solution karena Negara yang kuat adalah Negara yang melindungi setiap komponen dan mengakomodir setiap kepentingan yang ada pada Negara.
DAFTAR PUSTAKA
BPS. 2012. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi Februari 2012. Edisi 21. Jakarta: BPS
Marginal Propensity to Import. http://www.amosweb.com/cgi-bin/awb_nav.pl?s=wpd&c=dsp&k=marginal+propensity+to+import (diakses pada 16 Maret 2012).
The Output Multiplier. http://www.econweb.com/MacroWelcome/multiplier/notes.html
(diakses pada 16 Maret 2012)
Fiscal Multiplier. http://en.wikipedia.org/wiki/Fiscal_multiplier (diakses pada 16 Maret 2012)
Pedoman Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan Emiten atau Perusahaan Publik Industri Pertambangan Umum.
Uu Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan UU Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Komentar
Posting Komentar