Kenapa Tuntutan nya Aneh?
"Belajar! Belajar! Belajar!" - Riyan Al Fajri |
Beberapa hari ini,
kita disibukkan dengan kasus korupsi yang tersiar di udara negeri kita
melalui media-media. Tidak sedikit berita tersebut membuat panas telinga
kita karena ada satu atau dua orang sahabat yang kita kenal terjerat
kasus hukum tersebut. Beberapa kasus berujung pada penghujaman pada KPK
sebagai front-liner pemberantasan korupsi di Indonesia.
Kasus bocornya sprindik, lama nya pengungkapan beberapa kasus seperti Century, tak kunjung ditahannya duo demokrat, Andi dan Anas, sempat menjadi timeline hangat yang menyudutkan KPK. Tapi dari semua itu, saya tertarik pada satu kasus yakni kasus korupsi impor sapi yang menjerat petinggi “partai dakwah”, LHI.
Kenapa saya tertarik?
Bukan karena pelakunya yang “katanya” wow atau karena asal partai nya yang terkenal “bersih”, tapi lebih kepada reaksi bawaan dari itu. Kenapa reaksi? Sedetik LHI ditetapkan sebagai tersangka, media sosial langsung meradang. Teman-teman saya yang merupakan simpatisan dan beberapa kader dari LHI memuncratkan keluh kesah nya di media sosial. Akibatnya? Saya merasa sangat terganggu.
Bagaimana tidak terganggu? Andi dan Anas tersangka, semua diam saja. Ini mentang-mentang ada orang yang pakai jenggot jadi tersangka, ributnya bukan main. Terlihat seperti “Hi! He’s my hero. He’s always right. Don’t jail him!”. Lalu setelah itu, ada adegan menangis yang ditunjukkan petinggi partainya. Setelah itu, ada image terzolimi yang diprovokasikan lewat media sosial.
Saya memahami kenapa hal itu terjadi. Mereka adalah pendukung “setia” sang tersangka. Wajarlah sikap-sikap itu. Saya pun sempat jadi pembakar api mereka. Saya punya harapan besar ketika kasus ini dilanjutkan. Dalam pikiran saya, “Wah apa benar ini?”. Saya yang beberapa tahun lalu sempat memberikan dukungan pada calon bupati yang didukung oleh partai ini tentu lah ada rasa kecewa jika ini benar terjadi. Saya ingin menyaksikan kasus ini berlanjut lebih jauh lagi dan saya temukan apakah sangkaan saya salah.
Kasus menjadi sedikit mengherankan ketika ketika KPK menggunakan Tindak Pidana Pencucian Uang untuk menjerat LHI (jika kita memandang dari sudut orang awam). Bahkan beberapa teman saya dengan polosnya sempat nge-twitt:
Saya kira kurang elegan jika saya harus mengomentari twit teman saya itu. Kenapa? Saya tak perlu jelaskan tapi yang jelas twit nya terlalu polos lah untuk orang-orang sekaliber “kader” partai tersebut. tapi tentu ada yang menggangu saya. hati saya sempat berkata, “Apa urusannya KPK dengan TPPU? Ini komisi anti korupsi atau komisi pencucian uang?”
Saya tak pelak menepis bayang-bayang itu. Saya coba telisik lagi. Kenapa seperti itu? Toh, saya tidak mau jadi orang yang hanya bersangka-sangka. Lalu berkomentar sesuka hati tanpa ada dasar ilmunya. Setelah saya buka buku diklat saya, ternyata saya menemukan GONE Theory dari Jack Bologne (Greedy, Opportunity, Needs dan Exposure).
Dan ternyata, Koruptor itu tidak bodoh. ketamakan mereka yang membuat mereka lebih pintar merencanakan pencurian. Kesempatan yang mereka manfaatkan untuk memperkosa hak rakyat. Kebutuhan yang mereka jadikan alasan memuaskan nafsu tersebut. Pengungkapan yang lemah.
Lalu kenapa TPPU?
Pada dasarnya, TPPU berbeda dengan tindak pidana lainnya. Ini adalah tindak pidana lanjutan. Fokusnya adalah subjek dan objek yang merupakan satu rangkaian pidana dengan tindak pidana asal nya. Terlukis dalam ketentuan hukum (KUHP), dapat terbukti dan dipertanggungjawabkan, berlawanan dengan hukum serta harus ada ancaman hukuman (Abdul Djamili: 2003). Nah, dalam TPPU ini dikenal Predicate crime. ini merupakan delik pokok yang menentukan apakah terbukti seseorang melawan hukum (Djoko Sarwoko : 2009)
Menurut UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang pasal 2, Hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana : a. korupsi b. penyuapan c. narkotika d. psikotropika e. penyeludupan tenaga kerja f. penyuludupan migran g. dibidang perbankan h. dibidang pasar modal ….
Nah, kalau saya harus membalas twit teman-teman saya tadi, saya kira-kira undang-undang diatas telah menjawab semua nya toh?
Lalu kenapa TPPU dihubungkan dengan tindak pidana korupsi?
Kita semua sepakat bahwa tindak pidana korupsi adalah extraordinary crime. Posisinya, koruptor mendapatkan uang lalu sebelum uang tersebut dimanfaatkan, terjadi “pembersihan uang”. Semulanya uang suap, setelah di:
Jadilah, uang-uang itu “terlihat” bersih ala kadarnya.
Kondisi ini tentu tidak bisa kita maafkan, siapapun, bagaimanapun, dalam bentuk apapun, jika itu berhubungan dengan pemerkosaan hak rakyat, kita harus berontak. Kita harus menjunjung tinggi hukum. Tapi bagaimana jika hukum tidak bisa dipercaya? Saya katakan, jangan berhenti percaya pada hukum. Jangan berhenti percaya pada Indonesia.
Nah, begitulah sedikit pembahasan saya. tidak lengkap dan sempurna, tapi cukup menjadi trigger untuk teman-teman kembangkan. Kita patut menyadari bahwa seorang tersangka tetaplah tersangka sampai ia membuktikan diri tidak bersalah. Kita pula patut memahami bahwa seorang terpidana tetap memiliki hak meskipun ia divonis bersalah.
Jadi apa maksud saya? Maksud saya adalah dewasa! Daripada kita sibukkan diri berprasangka bahwa negara ini tidak adil, ada baiknya kita menciptakan keadilan untuk negara ini. melalui apa? Melalui percaya pada hukum dan negara. Saya yakin, sepolos apapun kita, kita ingin menyelamatkan negara ini. kita tentu tidak ingin koruptor melenggangkaki di tanah ibu pertiwi ini menyiksa kaum lemah bukan? Kita pun tentu tidak ingin orang yang tidak bersalah menjadi korban keculusan dan kesalahan dakwaan pihak tertentu.
Untuk itu, kita perlu belajar! Belajar dan belajar! Mumpung masih muda, kita bisa belajar banyak. Bukan belajar menjadi generasi penerus tapi belajar menjadi generasi pelurus! Ingat, masa depan Indonesia ada ditangan kita.
#Fastabiqul Khairat
Kasus bocornya sprindik, lama nya pengungkapan beberapa kasus seperti Century, tak kunjung ditahannya duo demokrat, Andi dan Anas, sempat menjadi timeline hangat yang menyudutkan KPK. Tapi dari semua itu, saya tertarik pada satu kasus yakni kasus korupsi impor sapi yang menjerat petinggi “partai dakwah”, LHI.
Kenapa saya tertarik?
Bukan karena pelakunya yang “katanya” wow atau karena asal partai nya yang terkenal “bersih”, tapi lebih kepada reaksi bawaan dari itu. Kenapa reaksi? Sedetik LHI ditetapkan sebagai tersangka, media sosial langsung meradang. Teman-teman saya yang merupakan simpatisan dan beberapa kader dari LHI memuncratkan keluh kesah nya di media sosial. Akibatnya? Saya merasa sangat terganggu.
Bagaimana tidak terganggu? Andi dan Anas tersangka, semua diam saja. Ini mentang-mentang ada orang yang pakai jenggot jadi tersangka, ributnya bukan main. Terlihat seperti “Hi! He’s my hero. He’s always right. Don’t jail him!”. Lalu setelah itu, ada adegan menangis yang ditunjukkan petinggi partainya. Setelah itu, ada image terzolimi yang diprovokasikan lewat media sosial.
Saya memahami kenapa hal itu terjadi. Mereka adalah pendukung “setia” sang tersangka. Wajarlah sikap-sikap itu. Saya pun sempat jadi pembakar api mereka. Saya punya harapan besar ketika kasus ini dilanjutkan. Dalam pikiran saya, “Wah apa benar ini?”. Saya yang beberapa tahun lalu sempat memberikan dukungan pada calon bupati yang didukung oleh partai ini tentu lah ada rasa kecewa jika ini benar terjadi. Saya ingin menyaksikan kasus ini berlanjut lebih jauh lagi dan saya temukan apakah sangkaan saya salah.
Kasus menjadi sedikit mengherankan ketika ketika KPK menggunakan Tindak Pidana Pencucian Uang untuk menjerat LHI (jika kita memandang dari sudut orang awam). Bahkan beberapa teman saya dengan polosnya sempat nge-twitt:
1. KPK tidak adil! Kenapa dia dituntut TPPU? Hebat! KPK selalu benar!
2. Lah kenapa jadi TPPU? Mana korupsi nya? Woalah, ini dia benar korupsi apa ga sih KPK?
3. Sakarepmu lah! Keadilan ditangan Allah. Korupsi kok jadi TPPU?
4. Nah, Nazar-Anggie-Gultom kenapa ga kenapa TPPU? Kenapa Cuma LHI?
Saya kira kurang elegan jika saya harus mengomentari twit teman saya itu. Kenapa? Saya tak perlu jelaskan tapi yang jelas twit nya terlalu polos lah untuk orang-orang sekaliber “kader” partai tersebut. tapi tentu ada yang menggangu saya. hati saya sempat berkata, “Apa urusannya KPK dengan TPPU? Ini komisi anti korupsi atau komisi pencucian uang?”
Saya tak pelak menepis bayang-bayang itu. Saya coba telisik lagi. Kenapa seperti itu? Toh, saya tidak mau jadi orang yang hanya bersangka-sangka. Lalu berkomentar sesuka hati tanpa ada dasar ilmunya. Setelah saya buka buku diklat saya, ternyata saya menemukan GONE Theory dari Jack Bologne (Greedy, Opportunity, Needs dan Exposure).
Dan ternyata, Koruptor itu tidak bodoh. ketamakan mereka yang membuat mereka lebih pintar merencanakan pencurian. Kesempatan yang mereka manfaatkan untuk memperkosa hak rakyat. Kebutuhan yang mereka jadikan alasan memuaskan nafsu tersebut. Pengungkapan yang lemah.
Lalu kenapa TPPU?
Pada dasarnya, TPPU berbeda dengan tindak pidana lainnya. Ini adalah tindak pidana lanjutan. Fokusnya adalah subjek dan objek yang merupakan satu rangkaian pidana dengan tindak pidana asal nya. Terlukis dalam ketentuan hukum (KUHP), dapat terbukti dan dipertanggungjawabkan, berlawanan dengan hukum serta harus ada ancaman hukuman (Abdul Djamili: 2003). Nah, dalam TPPU ini dikenal Predicate crime. ini merupakan delik pokok yang menentukan apakah terbukti seseorang melawan hukum (Djoko Sarwoko : 2009)
Menurut UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang pasal 2, Hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana : a. korupsi b. penyuapan c. narkotika d. psikotropika e. penyeludupan tenaga kerja f. penyuludupan migran g. dibidang perbankan h. dibidang pasar modal ….
Nah, kalau saya harus membalas twit teman-teman saya tadi, saya kira-kira undang-undang diatas telah menjawab semua nya toh?
Lalu kenapa TPPU dihubungkan dengan tindak pidana korupsi?
Kita semua sepakat bahwa tindak pidana korupsi adalah extraordinary crime. Posisinya, koruptor mendapatkan uang lalu sebelum uang tersebut dimanfaatkan, terjadi “pembersihan uang”. Semulanya uang suap, setelah di:
1. Placement (Penempatan uang hasil tindak pidana ke bentuk yang tidak dicurigai seperti menjadikannya dalam bentuk asset atas nama orang lain, dalam bentuk kas yang disimpan di bank deposit, dsb sehingga tidak terdeteksi kepemilikannya)
2. Layering (Melakukan transaksi keuangan yang kompleks seperti menjadikan asset lalu menjual asset, lalu meminjamkannya lalu menjadikannya usaha, dsb sehingga sulit dilacak asal sumber muasal dana nya)
3. Integrating (Mengembalikan kas haram tersebut kepemilik semula setelah dipermak berkali-kali)
Jadilah, uang-uang itu “terlihat” bersih ala kadarnya.
Kondisi ini tentu tidak bisa kita maafkan, siapapun, bagaimanapun, dalam bentuk apapun, jika itu berhubungan dengan pemerkosaan hak rakyat, kita harus berontak. Kita harus menjunjung tinggi hukum. Tapi bagaimana jika hukum tidak bisa dipercaya? Saya katakan, jangan berhenti percaya pada hukum. Jangan berhenti percaya pada Indonesia.
Nah, begitulah sedikit pembahasan saya. tidak lengkap dan sempurna, tapi cukup menjadi trigger untuk teman-teman kembangkan. Kita patut menyadari bahwa seorang tersangka tetaplah tersangka sampai ia membuktikan diri tidak bersalah. Kita pula patut memahami bahwa seorang terpidana tetap memiliki hak meskipun ia divonis bersalah.
Jadi apa maksud saya? Maksud saya adalah dewasa! Daripada kita sibukkan diri berprasangka bahwa negara ini tidak adil, ada baiknya kita menciptakan keadilan untuk negara ini. melalui apa? Melalui percaya pada hukum dan negara. Saya yakin, sepolos apapun kita, kita ingin menyelamatkan negara ini. kita tentu tidak ingin koruptor melenggangkaki di tanah ibu pertiwi ini menyiksa kaum lemah bukan? Kita pun tentu tidak ingin orang yang tidak bersalah menjadi korban keculusan dan kesalahan dakwaan pihak tertentu.
Untuk itu, kita perlu belajar! Belajar dan belajar! Mumpung masih muda, kita bisa belajar banyak. Bukan belajar menjadi generasi penerus tapi belajar menjadi generasi pelurus! Ingat, masa depan Indonesia ada ditangan kita.
#Fastabiqul Khairat
Komentar
Posting Komentar