1 dari 8 Rumah Tangga Indonesia Tidak Punya Akses Pada Air Minum yang Bersih, Minuman Kita Juga?
September 2017 lalu, kita sempat
dikejutkan dengan cerita puluhan anak SDN 76 Bilalange, Kec. Bacukiki,
Pare-Pare, Sulawesi Selatan yang mengambil air dari sumur yang berjarak lumayan
jauh dari sekolahnya. Sebulan lebih terjadi kekeringan di desa mereka. Air PDAM
pun tak masuk disemua rumah di wilayah mereka. Tidak hanya murid, guru juga
dibebankan untuk membawa air ke sekolah untuk keperluan anak-anak di toilet. (sumber)
Hal ini kurang lebih sama seperti
kisah pada 2013 lalu tentang siswa SD di Bitobe, Kupang, yang membawa jeriken
pulang-pergi sekolah. Pergi sekolah membawa air untuk keperluan mereka di
sekolah. Pulang sekolah untuk membawa air keperluang mereka di rumah. Mereka tetap
harus singgah untuk mengambil air. (sumber).
Meski sedikit berbeda, Ini juga sama dengan kisah tahun 2015 lalu, sejumlah siswa SDN Kolbano, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, tidak masuk sekolah dengan alasan mencari air. Mereka mendorong gerobak belasan kilometer untuk mengambil air bersih. Kadang-kadang mereka mengikuti truk proyek yang lewat di Desa Kolbano ke sejumlah sungai dan sumur yang diduga masih menyimpan air bersih (sumber)
Meski sedikit berbeda, Ini juga sama dengan kisah tahun 2015 lalu, sejumlah siswa SDN Kolbano, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, tidak masuk sekolah dengan alasan mencari air. Mereka mendorong gerobak belasan kilometer untuk mengambil air bersih. Kadang-kadang mereka mengikuti truk proyek yang lewat di Desa Kolbano ke sejumlah sungai dan sumur yang diduga masih menyimpan air bersih (sumber)
Kisah-kisah diatas disebabkan
oleh krisis kekeringan pada musim kemarau normal. 2017 ini misalnya, Meskipun
musim kemarau normal, namun telah memberikan menyebabkan kekeringan dan krisis
air di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara. Berdasarkan data sementara yang dihimpun
Pusat Pengendali Operasi (pusdalops) BNPB terdapat sekitar 105 kabupaten/kota,
715 kecamatan, dan 2.726 kelurahan/desa yang mengalami kekeringan saat ini di
Jawa dan Nusa Tenggara.
Masalah Kekeringan
Setidak-tidaknya 2017 ini, Sekitar
3,9 juta jiwa masyarakat terdampak kekeringan sehingga memerlukan bantuan air
bersih. Kekeringan ini juga menyebabkan 56.334 hektar lahan pertanian mengalami
sehingga 18.516 hektar lahan pertanian gagal panen.
Ini bukan angka yang sedikit. Secara
spesifik, kekeringan di Jawa Tengah misalnya, melanda 1.254 desa yang tersebar
di 275 kecamatan dan 30 kabupaten/kota sehingga memberikan dampak
kekeringan terdapat 1,41 juta jiwa atau
404.212 KK. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah bahkan sempat mengeluarkan status
siaga darurat kekeringan hingga Oktober 2017.
Kasus kekeringan di Jawa Barat,
kekeringan juga melanda hampir 496 desa di 176 kecamatan dan 27 kabupaten/kota.
Ini berdampak kepada 936.328 jiwa penduduk. Delapan kepala daerah
kabupaten/kota serempak mengeluarkan status siaga darurat kekeringan, yaitu
Kabupaten Ciamis, Cianjur, Indramayu, Karawang, Kuningan, Sukabumi, Kota
Banjar, dan Kota Tasikmalaya. Hal ini menimbulkan keresahan bagi warga teramat
dalam. Begitu pula halnya dengan di Jawa Timur, kekeringan melanda 588 desa di
171 kecamatan dan 23 kabupaten/kota. Tersebar merata hampir diseluruh provinsi.
Lain sedikit di Provinsi DI
Yogyakarta, kekeringan memang hanya melanda di 10 kecamatan di Kabupaten Kulon
Progo. Kekeringan tersentralisasi pada 1 kabupaten saja. Di 10 kecamatan
tersebut ada 32 desa yang terdampak kekeringan , ada 12.721 Jiwa di dalam 7.621
KK yang terdampak kekeringan di musim kemarau ini. Pemprov nya langsung turun menyalurkan
air bersih untuk pemenuhan air bersih warga.
Kasus yang sedikit lebih memprihatinkan
terjadi di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Di NTB, kekeringan
melanda 318 desa di 71 kecamatan yang tersebar di 9 kabupaten meliputi
Kabupaten Lombok Barat, Lombok Utara, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa,
Dompu, Bima dan Kota Bima. Diperkirakan terdapat sebanyak 640.048 jiwa atau
127.940 KK masyarakat terdampak kekeringan. Di NTT, tepatnya di sembilan
kabupaten, terjadi darurat kekeringan. Hal itu menyusul sumber-sumber mata air
mulai mengering. Sembilan kabupaten yang melaporkan darurat kekeringan itu
adalah Flores Timur, Rote Ndao, Timor Tengah Utara (TTU), Belu, Malaka, Sumba
Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya dan Sabu Raijua.
Sebenarnya, kejadian kekeringan
ini sudah lama diprediksi oleh studi neraca air yang dilakukan Kementerian PU
pada tahun 1995. Sejak tahun 1995. Catat! Studi tersebut menunjukkan bahwa, surplus air
hanya terjadi pada musim hujan dengan durasi sekitar 5 bulan, sedangkan pada
musim kemarau telah terjadi defisit untuk selama 7 bulan. Artinya ketersediaan
air sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan air bagi penduduk di Jawa, Bali dan
Nusa Tenggara.
Hasil penelitian lain mengenai
neraca air pada tahun 2003, juga menunjukkan hasil yang sama. Dari total
kebutuhan air di Pulau Jawa dan Bali sebesar 83,4 miliar meter kubik pada musim
kemarau, hanya dapat dipenuhi sekitar 25,3 miliar kubik. Pada 2007, studi oleh Bappenas juga menunjukkan hasil yang sama yakni sekitar
77% kabupaten/kota telah memiliki satu hingga delapan bulan defisit air dalam
setahun. Ini sangat mengkhawatirkan.
Diproyeksikan pada tahun 2025,
jumlah kabupaten defisit air meningkat hingga mencapai sekitar 78,4% dengan
defisit berkisar mulai dari satu hingga dua belas bulan, atau defisit sepanjang
tahun. Dari wilayah yang mengalami defisit tersebut, terdapat 38 kabupaten/kota
atau sekitar 35% telah mengalami defisit tinggi.
Masalah Air Tercemar
Selain kekurangan air
bersih karena kekeringan, masalah juga yang sedang kita hadapi juga pencemaran.
Air yang dihasilkan oleh hujan yang sudah defisit itu juga memiliki risiko
tercemar. Di Pulau Sumatera misalnya, menurut data BPS tahun 2014, secara nasional, kira-kira 1 dari 10 kelurahan
di Indonesia mengalami masalah pencemaran air.
Secara sesifik, setidak-tidaknya
1 dari 8 desa yang di Pulau Sumatera sudah tercemar airnya. Di Kalimantan, khususnya
Kalimantan Barat, 717 dari 2298 desa yang ada memiliki kandungan air yang
tercemar. Angka tersebut senada dengan 287 dari 12748 desa di Sulawesi Barat,
Sulawesi Tenggara, NTT, Papua Barat dan Papua bermasalah dengan pencemaran air.dari
287 desa tersebut, 58 diantaranya berasal dari Provinsi NTT.
Bayangkan Nusa Tenggara Timur
yang sedang mengalami masalah kekeringan, juga dihadapkan masalah kualitas air
yang tercemar. Itu seolah-olah mengartikan bahwa air yang ada pun tak layak
untuk dikonsumsi. Sudah kering, air nya tak bersih pula.
Kita bisa membayangkan bagaimana
kita bebas minum air dan membuang-buangnya saat memang kita berlebih-lebih. Disaat
yang sama, diwaktu yang sama, orang-orang di daerah-daerah terkena kekeringan
harus berjalan belasan kilometer hanya untuk mendapatkan air dari sumber air
terdekat. Kalaupun air tersebut layak konsumsi, perjalanan belasan kilometer
tersebut setidaknya terbayarkan. Ini tercemar pula. Bagaimana hendak meminumnya
dan memenuhi kebutuhan dasar kita? Mengkonsumsi Air?
Laporan UNICEF Snapshot SDGs Indonesia |
Secara nasional, menurut
UNICEF belum banyak daerah di Indonesia yang menggunakan sumber air yang baik
untuk konsumsinya. Survei kualitas air yang dilakukan di Yogyakarta pada tahun
2015 menunjukkan 67% rumah tangga mengkonsumsi dan menggunakan air yang telah
terkontaminasi oleh Bakteri Escherichia Coli (E. Coli). Bakteri ini bisa
menyebabkan infeksis usus serius sehingga mengakibatkan diare, sakit perut dan
demam. Penyebabnya, bisa seperti buang air besar sembarang pada sumber-sumber
air, dsb, Buang air besar sembarangan ini biasa kita temukan di kali, sungai,
empang, dsb. Untuk masalah sanitasi ini, menurut UNICEF, 20% penduduk Indonesia
buang air besar di tempat terbuka. Itu bisa saja lebih dari 51,6 juta jiwa. Bila
perbandingan penduduk yang tinggal dikota dan didesa adalah 56 : 44. Dengan
jumlah penduduk 258 juta, penduduk yang tinggal di desa mencapai 113,52 juta
jiwa. 29% dari 113,52 juta jiwa atau sekitar 32,92 juta jiwa penduduk desa buang
air besar ditempat terbuka. Kebiasaan yang tidak sehat ini berpengaruh tinggi
terhadap kualitas air yang dikonsumsi oleh masyarakat.
Laporan UNICEF SDGs Baseline Report |
Beberapa daerah seperti Aceh,
Bengkulu, Lampung, Kalimantan tengah dan selatan, Sulawesi tenggara, Nusa
Tenggara Timur, Maluku dan Papua adalah wilayah-wilayah yang berisiko tinggi
masyarakat masih mengkonsumsi air yang tidak bersih. Meskipun secara nasional
kita bisa lihat setidak-tidaknya 71% masyarakat sudah mengkonsumsi air dari
sumber yang lebih baik. Namun masih ada 29% masyarakat yang rentan untuk
mengkonsumsi air yang tidak bersih tersebut. Bila penduduk Indonesia berjumlah
258 juta jiwa, setidak-tidaknya, ada sekitar 74,82 juta jiwa penduduk Indonesia
yang rentan terhadap risiko mengkonsumsi air yang tercemar. Terlebih lagi
diserang oleh krisis kekeringan.
Kesehatan menjadi rentan
dengan mengkonsumsi air yang tidak didapat dari sumber yang baik ini, terutama
kesehatan anak-anak. Dikarenakan kesulitan air ini, ini menimbulkan masalah
seperti kasus di Pare-Pare, Bitobe, Kolbano bahwa tidak banyak sekolah yang
mampu menyediakan air bersih untuk anak-anak didiknya.
Laporan UNICEF SGDs Baseline Report |
Nusa Tenggara Timur dan Papua
menjadi daerah yang paling berisiko tinggi. Kurang dari 60% sekolah-sekolah di
daerah ini mampu menyediakan air bersih untuk siswa-siswi nya. Tingkat
kekeringan, tercemarnya air menjadi alasan paling sering gagalnya pemenuhan
ini. Ini juga diikuti oleh provinsi lain yang setidaknya lebih baik seperti
Sulawesi Tenggara dan Papua Barat, serta wilayah Aceh, Sumatera Utara,
Kalimatan Barat, Kalimatan Timur, Sulawesi Tengah, dan Maluku. Bila anak-anak
kita di sekolah tidak disediakan air bersih, kita tidak bisa berharap banyak
anak-anak kita tidak akan rentan terhadap penyakit. Anak-anak yang rentan sakit
tentu akan mengganggu proses pembelajaran mereka. Ini adalah hal yang sangat
merugikan.
Sikap Kita
Untuk itu, kita perlu jelih benar
memastikan anak-anak kita bisa mengakses air-air bersih. Jarak belasan
kilometer yang mereka tempuh untuk mengambil air harus kita pastikan air nya
adalah air yang tidak tercemar. Bagaimana caranya?
Puji Tuhan, melalui BNPB,
Pemerintah telah selangkah lebih maju dengan melakukan beberapa hal untuk
pemenuhan air bersih saat musim kemarau ini, yakni dropping air bersih. Setiap tahun BPBD dibantu relawan, SKPD, PMI,
NGO memberikan dropping air bersih
melalui tangki air. BNPB memberikan bantuan dana siap pakai bagi BPBD. Bersama-sama
dengan BPBD, NGO, BNPB melakukan Pembangunan bak penampungan air, embung,
peningkatan pipanisasi dan sumur bor. Kementerian PU Pera, Pemda dan Kementerian
ESDM juga sudah banyak membangun sumur bor, embung dan bak penampungan air.
Kita sebagai masyarakat yang
berada di daerah banyak air dan bersih, bila memungkinkan bergabung dengan
LSM-LSM, PMI, NGO lainnya untuk mendukung kampanye menyediakan air bersih untuk
warga yang kekeringan dan airnya tercemar. Biasanya kegiatan car free day sering diadakan kampanye
tentang ini, kita ayo terlibat. Bantu teman-teman yang berkampanye untuk
mengumpulkan dananya.
Dana-dana yang terkumpul nantinya
bisa dimanfaatkan melalui NGO, LSM, dan PMI misalnya, untuk pembangunan
konservasi tanah dan air melalui pemanenan hujan dengan sumur resapan, biopori,
rorak dan lainnya yang telah banyak dilakukan. Bila ada dana, tentu pembangunan
fasiltas-fasilitas tersebut menjadi lebih mudah. Kita tidak bisa mengharapkan
bantuan pemerintah terus-terusan, kita sebagai bagian dari mereka juga harus
turun langsung.
Dalam jangka panjang, ini menjadi
tugas pemerintah. Pemerintah perlu melakukan peningkatan dan perbaikan kualitas
lingkungan, reboisasi dan penghijauan, pengelolaan DAS terpadu, pembangunan bendung
dan waduk, revitalisasi embung dan saluran irigasi, konservasi tanah dan air.
Bagusnya, Pemerintah saat ini
terus menyelesaikan pembangunan bendungan dengan target pembangunan 65
bendungan selama 2015-2019. Ini terdiri dari 16 bendungan lanjutan yang belum
selesai tahun 2014 dan 49 bendungan baru dengan total anggaran
sekurang-kurangnya mencapai RP 70,1 Triliun. Di antara target sebanyak itu,
tujuh bendungan sudah dirampungkan pada akhir 2016. Ketujuh bendungan itu
adalah Bendungan Jatigede di Sumedang, Bendungan Bajulmati di Banyuwangi,
Bendungan Nipah di Sampang, Bendungan Titab di Buleleng Bali, Bendungan Paya
Seunara di Sabang, dan Bendungan Teritib di Balikpapan.
Sementara itu, pada 2017
ditargetkan tambahan tiga bendungan selesai yaitu Bendungan Raknamo dan Mila
(NTT), Tanju (NTB) dan Marangkayu (Kalimantan timur). Berturut-turut
direncanakan pula pada 2018 akan selesai 7 bendungan yakni Gondang (Jateng),
Tugu (Jatim), Logung (Jateng), Rotiklod (NTT), Sei Gong (Kepri), Bintang Bano
(NTB) serta Kuningan (Jabar). Dan 2019 ada 11 bendungan yang ditargetkan akan
selesai dibangun diantaranya yaitu Bendungan Passeloreng (Sulawesi Selatan),
Tapin (Kalimantan Selatan), Ciawi (Jawa Barat), Sukamahi (Jawa Barat), Karalloe
(Sulsel), Sindang Heula (Banten), Keureuto (Aceh), Bendo (Jatim), Gongseng
(Jatim) dan Pidekso (Jateng).
Bila proyek ini terwujud hingga 2019, setidaknya dengan dibangunnya 65 bendungan tersebut, kita akan memiliki ketersediaan tampungan air di Indonesia meningkat menjadi 19,1 miliar meter kubik dari sebelumnya yang hanya 12,6 miliar meter kubik yang berasal dari 230 bendungan yang ada saat ini.
Bila proyek ini terwujud hingga 2019, setidaknya dengan dibangunnya 65 bendungan tersebut, kita akan memiliki ketersediaan tampungan air di Indonesia meningkat menjadi 19,1 miliar meter kubik dari sebelumnya yang hanya 12,6 miliar meter kubik yang berasal dari 230 bendungan yang ada saat ini.
Kita perlu menjaga konsistensi
dan keberlanjutan upaya penanganan kekeringan ini. Kita dukung pemerintah, kita
jaga programnya berjalan, kita ikut mengumpulkan dana untuk pembangunan
sumur-sumur resapan, biopori, embung, penampungan air dsb melalui NGO, LSM, dsb,
dan yang paling penting, kita edukasi masyarakat untuk tidak Buang Air Besar
Sembarangan.
Kegiatan mengalahkan kekeringan
ini bukan kegiatan yang murah, bukan yang
bisa selesai dalam semalam juga. Kita perlu bersama dan menguatkan
barisan agar tak ada lagi anak-anak kita yang meminum air yang ada bakteri E.
Coli, lebih khusus lagi, agar tak ada anak-anak kita yang tidak mendapatkan air
karena kekeringan.
Komentar
Posting Komentar