Hari Guru: Masyarakat Kita Miskin Perhatian Pada Guru
Beberapa waktu terakhir ini kita
disibukkan berita yang tidak enak terkait guru. Misalnya, berita pelecehan
seksual. Dalam tiga bulan terakhir saja, ada setidak-tidaknya 3 kasus berurutan
yang terjadi melibatkan oknum guru.
Pada 25 Oktober 2017, di Pematang
Siantar, oknum guru TM, diduga melakukan pelecehan terhadap 3 orang siswi SMK.
Oknum guru TM melakukan perbuatan pelecehan dengan modus ketika jam-jam
praktik dengan meraba-raba tubuh korbannya. Oknum TM ini telah
melakukan pelecehan ini berkali-kali. Ketiga siswi yang menjadi korban ini kelas II dan ada
kelas lainnya. Terungkapnya aksi TM saat ketiga korban saling cerita satu sama lain,
bahwa menjadi korban pelecehan oleh guru. (sumber)
21 Oktober 2017 juga, oknum guru
MM, guru SD di Bantarjati Bogor, ditangkap di rumahnya atas tuduhan menyetubuhi
salah satu siswinya pada tahun 2014 yang saat itu masih duduk di kelas 4. Pelaku
adalah wali kelas korban. Kejadian tersebut terjadi saat korban tidak ikut
pelajaran olahraga dengan alasan tidak punya baju. Setelah itu, pelaku yang
sudah menyediakan tali dan lakban, langsung melakban dan mengikat korban. Setelah
itu, korban disetubuhi oleh pelaku. Pelaku sempat memberikan uang pada korban,
tapi korban menolak. Kejadian ini baru korban ceritakan pada orang tuanya pada
3 September 2017 lalu (sumber)
Pada 11 Agustus 2017, Oknum guru
AS, guru MI di Karanganyar, diciduk polisi karena telah melakukan pelecehan
pada 4 orang siswinya. Pelaku adalah guru sekaligus wali kelas 3. Beliau telah
melakukan tindakan pelecehan tersebut sejak sebulan sebelumnya. Diperkirakan,
seluruh kelasnya mengetahui kejadian tersebut. Modusnya, Oknum AS memanggil
korban-korban maju ke meja guru untuk membantu AS mengecek pekerjaan para murid.
Korban kemudian diminta duduk di pangkuan AS. AS lalu menyingkap roknya, lalu
dilakukan perbuatan cabul dengan meraba bagian kemaluan mereka. Setelahnya, perlakuan
AS berbeda-beda pada korbannya, ada yang dikasih uang Rp 2 ribu untuk jajan.
Ada yang dipinjami handphone untuk bermain (sumber)
Kejadian-kejadian diatas memang
tidak bisa kita gambarkan sebagai masalah besar kita kini.
Penjahat kelamin bisa berasal dari golongan profesi mana saja. Tidak hanya guru. Kita harus adil melihat ini.
Namun ini bisa jadi lampu kuning bagi kita. Kita perlu waspada,
kita perlu kembali menyadari bahwa ancaman bisa berasal dari mana saja,
termasuk guru anak-anak kita.
Guru-Guru Kita
Disisi lain, guru secara
institusi perlu memperbaiki dirinya. Organisasi-organisasi guru seharusnya
mampu memastikan attitude dan sikap
guru tepat contoh, tepat guna dan tepat harap. Perlu kita ingat bahwa semuda apapun
seorang guru usianya, image mereka
dimasyarakat adalah orang yang amat dihormati. Guru adalah teladan, bukan hanya
bagi anak didiknya, tapi juga orang tua anak didiknya, masyarakat sekitar
sekolah, maupun masyarakat sekitar tempat tinggalnya.
Saking terhormatnya guru-guru
ini, ayah saya misalnya, saya ingat betul kemanapun beliau pergi dan bertemu
orang-orang asing, ada saja satu atau dua orang mantan murid nya yang tiba-tiba
menyapa. Mantan murid yang sudah mulai menua itu begitu amat menghormati ayah
saya. Cium tangan, bercerita bagaimana dulu dididik oleh ayah hingga
capaian-capaian mereka selama ini. Padahal
hubungan guru-murid mereka sudah tidak terjadi lagi dalam waktu puluhan tahun. But kindness is always life forever kan?
Guru memiliki tempat terhormat
dalam masyarakat kita. Secara nasional, pada tahun ajaran 2016-2017
setidak-tidaknya, kini ada sekitar 3.375.509 guru yang tersebar diseluruh
Indonesia. Mereka bertanggung jawab mendidik siswa yang berjumlah 54.569.648
siswa. Kira-kira, 1 guru bertanggung jawab sekurang-kurangnya terhadap 16 orang
siswa. Rasio yang masuk akal walaupun sebenarnya tidak demikian adanya. Karena di
Negeri kita, siswa tidak dikelompokkan berdasarkan banyak guru, melainkan
banyaknya rombongan belajar. Hal yang buruk bisa saja terjadi dimana 1
rombongan belajar berjumlah 37-55 siswa. Ini akan bertentangan dengan Permendikbud
Nomor 17 Tahun 2017 yang mana jumlah 1 rombongan belajar hanyalah 20-28 siswa
untuk SD, 20-32 orang untuk SMP, 20-36 orang untuk SMA, 15-36 orang untuk SMK
dan 5 orang untuk Sekolah Luar Biasa.
Kita coba bayangkan 1 orang guru
mengajar 55 orang sekaligus. Fokus dan perhatian macam apa yang bisa diberikan
oleh guru yang mengajar kepada siswa yang berjumlah sangat banyak itu? Contoh
sederhana saja semasa saya SD dulu tahun 2002 kelas 4 SD, jumlah siswa dikelas saya
44 orang. Guru hanya bisa memberi perhatian setidak-tidaknya disetengah kelas
saja. Sisanya saya dan teman-teman ribut di belakang kelas. Belum lagi beberapa
kesempatan, saya dan teman-teman baik saya main teka-teki, bikin pesawat
terbang, coret-coret meja, di bekalang kelas. Bukan karena kami nakal ketika
itu, tapi memang perhatian guru-guru tidak terlalu mampu menjangkau kami-kami
yang duduk di belakang. Akhirnya, muncul kasus guru tendang murid, guru cubit
murid, guru marah murid, guru pukul murid pakai penggaris besi, guru Tarik jambang
murik, dsb. Memang itu hal yang biasa di zaman itu.
Di SMP, saya sedikit lebih beruntung.
Kelas saya awalnya 40 orang. Ketika naik kelas, karena kelas unggul utama, ada
dua orang rekan yang “terpaksa dikeluarkan” ke kelas unggul kedua karena
nilainya tidak mencukupi. Sekolah saya memang sedikit diskriminasi ketika itu.
Siswa-siswi di rangking berdasarkan nilai. Lalu diurutkan kelasnya. Kelas-kelas
lain diacak berkali-kali, namun hanya kelas unggul 1 saja yang tidak
diperlakukan demikian. Orang-orang di kelas unggul 2 hingga 7 bisa dipindahkan,
sedangkan kelas unggul 1 hanya punya dua opsi, yakni bertahan dengan nilai
terbaik atau pindah ke kelas unggul berikutnya jika nilai tidak mencukupi batas
minimal. Akhirnya setelah rombakan kelas 1.1 ke 2.1 yang mengeluarkan dan
memasukkan banyak orang ke kelas unggul 1 yang sebenarnya. Pada akhir kelas 2, ada
2 orang yang dipindah kelas, maka jumlah 38 siswa kelas 2.1 itulah yang bertahan
hingga lulus.
Saya tidak katakan dua orang
teman saya ini tidak mampu secara akademis. Meski Memang, nyatanya nilai mereka
berada dibawah standar untuk bisa bertahan di kelas unggul 1. Hanya saja, bila
kita lihat sekali lagi dengan seksama, ini mungkin bukan karena mereka tidak
mampu, mereka juara di kelas mereka yang baru, Melainkan “kurangnya” perhatian
yang mereka terima sehingga mereka bisa mempertahankan nilai mereka di kelas
unggul 1. 40 siswa itu jumlah yang banyak bagi seseorang guru untuk menguasai
mereka.
Puji Tuhan, di SMA, saya mendapatkan pengalaman yang lebih baik. Satu kelas saya terdiri dari 32 orang saja. Itu pun kalau diingat-ingat, rasanya, kami masih bisa tidur saat guru mendidik kami di kelas.
Siswa yang tidur, siswa yang
melawan, siswa yang nakal, siswa yang pacaran, dsb ini lah tantangan guru-guru
kita. Bagaimana mungkin guru kita ini bisa perhatian pada 55 orang siswa
sedangkan memberikan perhatian untuk 36 siswa saja susahnya minta ampun? Muncul
masalah lain, mungkin masalah perhatian bisa kita paksakan guru-guru untuk
memberikan kemampuan yang lebih, tapi apakah itu sebanding dengan apa yang
mereka lakukan dan apa yang mereka dapatkan?
Penghasilan Ibu Bapak Guru
Hari ini, penghasilan guru kita
masih kalah jauh dengan guru-guru di Negara-negara tetangga. Menurut data OECD
pada 2014 (sumber),
Indonesia menempati urutan ke 30 dari 30 negara terkait penghasilan guru. 2014 ini,
banyak loh dari guru yang telah mendapatkan penghasilan atas sertifikasi guru.
No
|
Negara
|
Penghasilan Guru/Th
|
No
|
Negara
|
Penghasilan Guru/Th
|
1
|
Swiss
|
USD 68.820
|
16
|
Portugal
|
USD 34.590
|
2
|
Belanda
|
USD 57.870
|
17
|
Perancis
|
USD 33.570
|
3
|
Jerman
|
USD 53.730
|
18
|
Norwegia
|
USD 33.130
|
4
|
Belgia
|
USD 51.470
|
19
|
Slovenia
|
USD 32.480
|
5
|
Korea
|
USD 47.340
|
20
|
Swedia
|
USD 31.610
|
6
|
Irlandia
|
USD 47.300
|
21
|
Italia
|
USD 31.460
|
7
|
Jepang
|
USD 45.930
|
22
|
Islandia
|
USD 29.480
|
8
|
Australia
|
USD 44.000
|
23
|
Yunani
|
USD 25.750
|
9
|
Finlandia
|
USD 42.810
|
24
|
Israel
|
USD 19.550
|
10
|
Inggris
|
USD 41.910
|
25
|
Ceko
|
USD 18.610
|
11
|
Denmark
|
USD 41.710
|
26
|
Turki
|
USD 17.180
|
12
|
Spanyol
|
USD 41.520
|
27
|
Chili
|
USD 16.410
|
13
|
USA
|
USD 41.460
|
28
|
Brazil
|
USD 14.840
|
14
|
Austria
|
USD 37.410
|
29
|
Hungaria
|
USD 14.760
|
15
|
Selandia Baru
|
USD 34.760
|
30
|
Indonesia
|
USD 2.830
|
Swiss menjadi negara yang
menggaji guru terbesar pada 2014 ini. Bila kurs masa itu Rp 12.176 /USD,
Seorang guru di Swiss bisa membawa pulang penghasilan sebesar Rp 838 juta per
tahun. Ini tentu kalah jauh dengan Indonesia yang gurunya berpenghasilan rata-rata
hanya sebesar USD 2.830, atau sekitar Rp 34.5 juta pertahun. 34,5 juta pertahun itu kira-kira hanya sebesar
Rp 2,8 juta per bulan. Kita bayangkan seorang guru PNS baru S1 gaji PNS hanya
Rp 2,2 juta per bulan, ditambah uang tambahan honor dan sebagainya hanya Rp 600
ribu. Dibanding dengan rata-rata OECD pun masih kalah jauh, OECD rata-rata gaji guru harusnya USD 38.914 untuk sekolah dasar, dan USD 41.701 dan USD 43.711 pertahun bagi secondary level dan upper class. Bila kita rupiahkan, kisaran Rp 473 juta s.d Rp 533 juta per tahun. Memang kalau luar negeri kita bandingkan dengan uang kita, tidak sebanding, tapi tetap penghasilan Rp 34,5 juta pertahun itu jauh dari ideal. Dengan gaji yang jauh dari ideal demikian, kita paksakan guru-guru untuk memberikan
perhatiannya 100% pada anak-anak sekolah kita. Are we fair enough?
Pemerintah sejak zaman Bapak SBY
sudah memberikan kesempatan perbaikan penghasilan bagi guru-guru. Guru-guru
yang lolos sertifikasi diberikan Tunjangan Profesi Guru (TPG) sebesar setara
dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru. Sesuai peraturan yang lebih rinci, diatur
bahwa TPG diberikan setiap bulan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan. TPG
tidak hanya diberikan kepada guru yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS),
tetapi juga diberikan kepada guru bukan PNS. Untuk guru PNS, besaran TPG yang
diberikan adalah sebesar 1 (satu) kali gaji pokok PNS yang bersangkutan, sementara
untuk guru bukan PNS, besaran TPG yang diberikan sesuai dengan kesetaraan tingkat,
masa kerja, dan kualifikasi akademik yang berlaku bagi Guru PNS. Melalui peraturan
yang lebih rinci disebutkan bahwa, untuk guru non PNS yang belum memiliki jabatan
fungsional guru atau belum disetarakan dengan jabatan, pangkat, golongan, dan kualifikasi
akademik yang berlaku bagi guru PNS diberikan tunjangan profesi sebesar Rp1.500.000,-
per bulan.
Sejak 2007 hingga 2017, berdasarkan
liputan kompas tentang jumlah guru yang telah disertifikasi (sumber),
kita temukan bahwa sudah ada 1.471.812 orang guru yang sertifikasi. Bila jumlah
guru kita mencapai 3,3 juta orang, maka ada 1,8 juta guru lagi yang belum “layak”
penghasilannya. 1,8 juta guru, itu bukan jumlah yang sedikit. Anggap saja guru
menikah sesama guru, punya anak dua, setidak-tidaknya 1,8 juta orang ini
menanggung 3,6 juta kepala. Masalahnya, penghasilan banyak guru belum layak. Ini
akan menjadi masalah? Ya ini akan menjadi masalah.
Beberapa teman saya yang menjadi
guru ada yang bahkan pendapatannya hanya Rp 300 ribu per bulan. Mereka disebut
guru honor komite. Jadi sekolahnya kekurangan guru, sekolahnya merekrut guru
dengan penghasilan dari iuran komite atau iuran lainnya dari sekolah. Mereka dibayar
per jam ajar. Bayangkan di Riau, UMR nya sudah Rp 2,2 juta. Itu adalah gaji
untuk pekerja tamat SMA baru kerja dan belum nikah. Ini guru hanya Rp 300 ribu
per bulan. Guru-guru ini kuliah loh sampai S1, mereka mendidik orang, mereka
berpeluh dan berlelah-lelah untuk masa depan kita loh. Penghasilannya bahkan
tidak lebih baik dari pada buruh-buruh yang SMA tamat saja Alhamdulillah. Are we fair enough?
Tambahan uang profesi Rp 1,5 juta untuk guru non PNS yang baru tentu akan membantu para guru baru ya, tapi berapa orang yang sudah mendapatkannya?
Solusi Jangka Pendek
Kita tidak bisa berbohong bahwa
guru-guru kita belum mendapatkan perhatian yang layak dari masyarakat kita. Saya
katakan masyarakat karena profesi guru bukan hanya tanggung jawab pemerintah,
tapi kehidupan sosial masyarakat kita secara keseluruhan. Bila ada seseorang
yang memiliki profesi terhormat tersebut susah makan dalam sehari saja, kita
perlu pertanyakan dimana rasa tenggang rasa masyarakat kita. Anaknya dititip ke
sekolah untuk dididik, gurunya dibiarkan susah makan dan hidupnya?
Suatu masyarakat yang ideal
menurut saya adalah masyarakat yang pendidikannya bagus. Bagus itu secara
spesifik adalah siswanya berprestasi, akhlaknya bagus dan guru-gurunya
sejahtera. Prestasi, akhlak dan kesejahteraan guru menjadi kesatuan utuh dalam
kualitas pendidikan. Tidak bisa dipisahkan. Kita tidak pernah mendengar kisah
guru-guru zaman kejayaan Islam dulu jatuh miskin bukan? Ulama-ulama atau
guru-guru tersebut sangat dihormati pada zamannya tetap memiliki kehidupan
pribadi mereka dengan layak dan cukup. Kalau penghasilan guru kurang, harusnya, masyarakat bersama-sama secara swadaya "melayakkan" penghasilan guru-guru tersebut.
Negara-negara barat telah lebih dulu menaikkan standar kehidupan guru ketimbang profesi lainnya. Tidak mungkin
profesi guru mereka tidak lebih berharga daripada profesi pencuci piring yang
bisa meraup USD 10 per jam. Menghidupi guru dengan layak sudah menjadi satu langkah
meningkatkan kualitas pendidikan di suatu negara. Kenapa? Guru yang sejahtera
akan semakin semangat mendidik siswanya. Ada insentif bagi mereka untuk
mengusahakan yang terbaik tanpa harus digamangkan oleh kebutuhan pribadi
mereka.
Setidak-tidaknya, penambahan kesejahteraan mereka itu adalah cara kita memuliakan para guru. Tapi kita patut sadar bahwa there’s no free lunch. Semakin bagus penghasilan guru, kualitas guru juga harus semakin baik.
Bagi teman-teman yang baru lulus
kuliah untuk menjadi guru, mengingat penghasilan honorer di sekolah negeri
belum maksimal layak ketimbang buruh lainnya, para guru muda ini harus terbuka
dengan pilihan-pilihan seperti menjadi guru bimbel, mengikuti program guru ke
desa, dan tentu guru di sekolah swasta dengan penghasilan yang lebih bagus. Dalam
jangka waktu pendek, teman-teman guru muda ini akan terpenuhi penghasilannya
secara layak. Bila ada kesempatan pembukaan pengabdian sebagai guru PNS, baru
mendaftar. Siapa tahu bisa mengabdi sebagai guru dalam status PNS, bisa
sertifikasi pula. Jangan dipaksakan menjadi honorer tanpa ada sambilan lainnya.
Bilapun ingin mengambil honorer di sekolah negeri, disilangkan, dengan mengajar
di bimbel-bimbel atau sekolah-sekolah swasta. Karena selain pengabdian, periuk
dapur juga perlu diisi.
Kita boleh semangat membara
mengabdi mendidik anak-anak kita, tapi kita tak boleh lupa bahwa ada periuk
yang perlu mengepul untuk kita bisa bertahan hidup.
Dalam jangka waktu panjang, ini
menjadi peran pemerintah untuk meningkatkan penghasilan guru setidak-tidaknya
setara dengan penghasilan dokter, akuntan, Polri, TNI, dsb. Baik guru PNS
maupun non PNS. Caranya? Bisa melalui insentif terbatas dengan persyaratan
sertifikasi, bisa melalui program pengembangan, maupun cara lainnya yang
dibenarkan secara undang-undang. Selain itu, LSM-LSM pendidikan bisa menyediakan pelatihan softskill bagi guru sehingga bisa lebih maksimal mendidik anak-anak kita dan bisa berguna bagi sampingan bagi guru yang belum berpenghasilan layak.
Aktualisasi Guru
Selain urusan periuk dapur, saya
pikir hal yang penting lainnya adalah masalah pengembangan guru-guru kita. Beberapa
guru banyak yang terbenam asyik mendidik anak-anak didiknya. Mereka sampai lupa
bahwa mereka juga harus belajar. Mereka juga perlu berkembang. Mereka berkembang,
anak didik mereka juga akan berkembang.
Jujur saja, MGMP yang
dilaksanakan guru-guru untuk meningkatkan kualitas pendidikan mereka begitu
membosankan bukan? Kenapa kira-kira? Itu karena pola pikir pengembang
pendidikan kita masih terbatas pada hal teknis. Para guru ini melakukan MGMP
peningkatan kurikulum lah namanya, mata pelajaran lah namanya, yang intinya,
murid tidak peduli juga. Kita tidak bisa biarkan guru-guru kita masih
berpikiran kuno seperti ini. Masalah mata pelajaran, gampanglah. Yang lebih
penting adalah bagaimana guru-guru tersebut bisa “meningkatkan kreatifitas”
belajar anak didiknya. Toh skill praktik yang akan digunakan di dunia mahasiswa,
bukan?
Yang kini guru-guru harus
pelajari bukan tentang bagaimana menghitung rumus fisika dengan belitan soal
yang bikin kepala panas, tapi bagaimana konsep dasar fisika itu bisa dijadikan “mesin”
sederhana yang bisa berguna bagi keseharian oleh peserta didik dan harganya
murah. Kalau bisa gratis, alatnya dibuat dari alam saja.
Misal, kita pelajari konsep
fluida, kita harus ubah dari anak-anak yang sekedar menghitung gaya, jarak dan
daya, menjadi anak-anak sekolah bisa membangun penyemprot taman otomatis
melalui tekanan fluida. Atau konsep gaya, siapa tahu anak-anak kita bisa
membangun roket terbang angin. Atau saat konsep gelombang, anak-anak bisa
membangun alat perasa gempa. Atau praktik gembolang dengan alat musik, mereka
bisa jadi pemusik dengan harmoni yang baik. Pembelajaran jadi lebih menarik. Konsep
fisika jadi mudah dimengerti, menghitungnya? Ya tentu akan menjadi tantangan
yang lebih menarik.
Saya sendiri pernah sekolah di Malaysia, ketika belajar momentum, lah kita bersama gurunya praktik main tenis. Itu dalam jam pelajaran resmi loh. Belajar sambil bermain, tidak membosankan lebih komprehensif.
Kita tidak ingin guru-guru kita
hanya fokus pada hitungan matematika yang njelimet
parah. Hitungan yang bahkan dalam kehidupan kita sehari-hari tidak kita pakai. Hitungan
yang ketika kuliah kita ulangi lagi pelajarannya dari awal, dari nol, atau
bahkan tidak kita pakai sama sekali. Akan lebih berguna, Ibu Guru matematika
kita berdiri di depan kelas, mengajarkan kita bagaimana hitungannya plus
logikanya dan contoh yang biasa dipakai di kehidupan kita sehari-sehari.
Saya pikir, bila dana BOS yang
banyak sekali itu dimanfaatkan untuk membuat pelatihan guru yang cemerlang ini,
tidak sekedar hard skill,
hitung-hitungan dan hafalan yang biasa saja, ini akan lebih bermanfaat. Selain itu,
pelatihan komunikasi juga sangat penting. Kita sering temukan guru yang “seolah
pandai mengajar” tapi sama-sama tidak membuat anak didiknya paham. Ini bisa
kita temukan di guru-guru senior kita. Apalagi bila ia sudah menjadi instruktur
nasional. Mereka pintar, bisa mengerjakan persoalan, tapi tidak bisa membuat
anak didik nya paham. Seolah-olah pandai mendidik, tapi tidak sama sekali.
Pendidikan yang duduk dengan
rapi, dikasih tugas diselesaikan, bisa mengikuti perintah guru, sudah tidak
bisa diterapkan di dunia ktia sekarang. Itu pola pendidikan memproduksi
pekerja. Sekarang, kita sudah masuk di dunia kreatifitas, bukan dunia pabrik lagi.
Guru-guru tidak bisa memakai cara mempersiapkan pekerja pabrik untuk membuat
anak didiknya bertahan di dunia kreatif ini. 2014 Gojek muncul. Semula kita
beli makanan harus datang ke tokonya, kini kita bisa pilih di rumah saja. Gojek
muncul dari kreatifitas, bukan dari ilmu pekerja pabrik.
Dunia sudah berubah, pendidikan kita masih akan tetap sama? Guru akan tetap mengajarkan hal yang sama? Apa yang akan terjadi pada anak didik kita di masa depan bila guru-guru tidak berubah untuk mendukung mereka?
Bahan bacaan:
Komentar
Posting Komentar