Mewujudkan Indonesia Ramah untuk Ibu Hamil
Usia saya sekarang 25 tahun. Beberapa
teman saya mulai melangsungkan pernikahan pada usia-usia ini. Saya yakin undangan
pernikahan ini akan berlanjut hingga usia 30an tahun nanti. Seiring banyak
pasangan muda di kantor, beberapa wanita sudah hamil. Banyak calon ibu muda
bolak-balik ke ruangan saya, atau mungkin hanya sekedar berpas-pasan di dalam
lift. Setiap pagi itu, ada calon ibu muda turun untuk presensi melalui mesin
presensi kantor. Ada yang hamil muda, ada yang hamil tua.
Saat awal-awal hamil, calon-calon
ibu muda ini bolak-balik kamar mandi. Sebagian besar mengeluh muntah, Morning sickness. Ada juga yang tidak cuma
dipagi hari tapi setiap makan muntahnya. Duh, kasihan sekali lah. Ketika mulai
memasuki usia hamil tua, lebih kasihan lagi. Jalannya sudah berbeda. Saya saja
gamang melihat mereka jalan. Saya sadar mereka membawa beban yang berat di
perut mereka. Muncul dalam benak saya, kenapa tidak ambil cuti saja? Hemat cuti?
Ada teman saya bahkan baru ambil cuti di beberapa minggu sebelum melahirkan. Itu
pilihan yang sangat berisiko.
Secara aturan sebenarnya dalam UU
Ketenagakerjaan (UU No 13 th 2003), ibu hamil berhak mengambil cuti bersalin
1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan. Kira-kira 6
minggu sebelum, 6 minggu setelah. Karena pada 1,5 bulan terakhir itu, bayi bisa
lahir kapan saja tergantung kontraksi. Bayi biasanya lahir pada usia kehamilan
38-40 minggu. Bayi dikatakan premature jika lahir kurang dari 34 minggu. Untuk itu,
sebaiknya di 1,5 bulan terakhir sebelum waktu kelahiran, calon ibu sudah harus siap-siap.
Calon ibu sudah tidak dibenarkan beraktifitas berat, bepergian jatuh, serta apa
saja kegiatan yang tidak menfasilitasi usia kehamilan.
1,5 bulan saja sebenarnya belum
angka yang ideal untuk mengambil hari cuti. Penelitian oleh para ahli dari
Columbia University dalam Economic Journal mencatat bahwa cuti selama tiga
bulan setelah melahirkan (bila digabung dengan cuti sebelum bersalin berarti
total empat bulan) sudah cukup untuk menjamin kesehatan ibu dan bayi bahkan
hingga jangka panjang. Hasil serupa juga dibuktikan oleh studi dalam Journal of
Health, Politics, Policy, and Laws tahun 2013 lalu. Cuti bersalin selama tiga
bulan setelah melahirkan mampu mengurangi risiko depresi pasca melahirkan dan dampak
kesehatan lainnya pada ibu dan bayi (https://hellosehat.com/kehamilan/melahirkan/berapa-lama-cuti-melahirkan-ideal/).
1,5 bulan itu kira-kira 6 minggu
lamanya. Bila kita merujuk pada Konvensi No. 183 International Labor
Organization (ILO) yang telah diratifikasi oleh 34 negara, cuti hamil diberikan
pada wanita pekerja itu minimal 14 minggu dengan ketentuan setidak-tidaknya 6
minggu diambil setelah kelahiran. Negara kita belum meratifikasi konvensi tahun
2000 ini. Kita baru memberikan hak cuti bersalin selama 3 bulan dengan rincian
1,5 bulan sebelum dan 1,5 bulan setelah melahirkan. Total cuti bersalin yang
diberikan oleh Indonesia 12-13 minggu per persalinan.
Bila kita bandingkan dengan Negara-negara
di dunia, Indonesia termasuk Negara dengan cuti bersalin yang belum memenuhi
konvensi ILO tersebut. Bersama Malaysia yang hanya dua bulan cuti hamil, wilayah
Indocina lainnya, Amerika Tengah dan sedikit wilayah di Afrika. Secara umum ada
setidak-tidaknya 47% Negara-negara di dunia ini yang tidak memberikan cuti
bersalin minimal 14 minggu pada ibu hamil, terbanyak wilayah Timur tengah, Asia
secara keseluruhan, Afrika dan Amerika Selatan.
Di Asia, 19% Negara memenuhi waktu cuti bersalin yang ditetapkan konvensi ILO tahun 2000. Beberapa Negara sangat memuaskan dengan memberikan cuti bersalin setidak-tidaknya 14 minggu, seperti Vietnam 6 bulan, Mongolia 120 hari, Singapura 16 minggu dan China 14 minggu). 15 negara lainnya memberikan cuti 12-13 minggu sedangkan sisanya 6 negara, seperti: Brunei Darussalam, Hong Kong, Nepal, Papua New Guinea dan Filipina, memberikan cuti bersalin dibawah 12 minggu. Wilayah jazirah arab sedikit lebih menegangkan, hanya Negara yang kini sedang dilanda perang saudara, Suriah, yang memenuhi konvensi ini selama 17 minggu. 11 negara lainnya tidak memenuhi dengan rata-rata cuti bersalin hanya 9,2 minggu.
Eropa dan Australia jauh lebih
baik daripada kontinen lainnya, 100% wilayah eropa dan Australia mengizinkan
cuti bersalin minimal 14 hari kerja. Swedia bahkan memberikan cuti bersalin 68
minggu atau 480 minggu untuk Ibu Bersalin. Mengikuti Swedia dibelakang, Estonia
62 minggu, Bulgaria dan Kroasia 58 minggu, Inggris, Bosnia Herzegovina, Albania
52 minggu. Sisanya berkisar antara 14-42 minggu cuti bersalin.
Dari semua Negara tersebut, hanya Amerika Serikat, Papua New Guinea, dan Suriname serta beberapa Negara-negara kepulauan di Samudera Pasifik yang tidak memberikan hak cuti bersalin. Boleh cuti 12 minggu tapi tidak mendapatkan bayaran/upah.
Alasan tidak memberikan cuti bersalin lama
Masalah produktifitas dan
penggajian pada ibu bersalin menjadi alasan utama Negara-negara tidak
memberikan cuti bersalin yang cukup bahkan tidak sama sekali kepada pekerjanya.
Amerika serikat misalnya, meskipun memberikan izin cuti, tapi tidak
mengharuskan pemberi kerja menggaji orang tua yang mengambil cuti bersalin
tersebut. Pada prakteknya, setidak-tidaknya 11% dari pekerja di Amerika Serikat
mendapatkan kebijakan dibayar oleh pemberi kerjanya. Itu jumlah yang sangat
kecil.
Secara logis, kita tidak membayar
orang yang tidak bekerja. Benar. Alasan tersebut masuk akal. Kalaupun orang
yang diberi hak cuti bersalin dibayar, uang apa yang bisa digunakan untuk
membayarnya? Toh yang sedang cuti tidak produktif menambah pemasukan bagi
pemberi kerja? Kita mendapat upah ya karena kita melakukan sesuatu untuk
perusahaan, jika kita tidak melakukan sesuatu, apakah kita berhak mendapat
upah?
Pola pikir tersebut akan
memberikan insentif negatf tenaga kerja Wanita. Pertama, Wanita yang sudah
menikah dan akan hamil pasti akan memutuskan untuk sementara berhenti bekerja
untuk fokus pada kehamilannya. Kedua, semakin banyak perusahaan yang enggan
menerima pekerja Wanita mengingat risiko mereka akan tidak bekerja bila sudah
menikah dan hamil. Ini akan mempercepat peningkatan jumlah pengangguran dari
pekerja Wanita, dilain pihak, tindakan diskriminatif ini berisiko tinggi akan
menyebabkan kemerosotan ekonomi dalam waktu panjang.
Potensi tenaga kerja wanita
sangat besar, untuk Indonesia saja misalnya, jumlah angkatan kerja yang Wanita
mencapai setengah populasi angkatan kerja aktif. Dari 128,06 juta angkatan
kerja, bila setengahnya, kekuatan tenaga kerja Wanita Indonesia mencapai lebih
64 juta tenaga kerja. Bila insentif negatif tersebut terjadi, banyak Wanita
akan menganggur. Kemampuan daya beli akan turun. Ekonomi akan memburuk.
Selain masalah ekonomi, tingkat
bahaya bila wanita memaksakan diri untuk masuk kantor saat hamil tua dan beberapa
waktu singkat setelah melahirkan adalah masalah kesehatan. Kita berekspektasi
dengan membatasi wanita untuk cuti bersalin akan baik bagi produktifitas. Wanita
masuk lebih cepat, kerja lebih cepat, lebih banyak kontribusi dalam
penghasilannya secara nyata. Nyatanya, kondisi yang belum fit bagi wanita
tersebut akan mengurangi produktifitasnya. Cenderung, kegiatan tersebut
membahayakan dirinya. Produktifitas turun, kesehatan terganggu. Ini suatu
risiko yang sangat sia-sia.
Siapa yang membayar wanita cuti bersalin?
Berpijak dari masalah
produktifitas, bila wanita cuti bersalin dan gaji mereka tetap jalan, siapa
yang harus membayarnya? Amerika serikat, Papua New Guinea memberikan hak 12
minggu cuti tapi tidak dibayar. Bagi mereka masalah selesai. Bagaimana dengan Negara-negara
lain semacam Indonesia dsb?
Menurut laporan ILO, ada beberapa
cara menyiapkan pembayaran untuk pekerja yang mengambil cuti bersalin.
Cara pertama, asuransi/jaminan sosial. Beberapa
Negara memiliki sistem jaminan sosial bagi para pekerjanya. Indonesia memiliki
satu diantaranya yakni BPJS Ketenagakerjaan. Dalam hal kegiatan bersalin,
beberapa Negara memiliki sistem jaminan dimana pemberi kerja, pekerja dan Negara
(melalui subsidi terbatas) bersama-sama membayar asuransi untuk kejadian kehamilan
tersebut. Biasanya asuransi tersebut satu paket dengan asuransi kesehatan,
jiwa, kompensasi pengangguran, kecelakaan dsb.
Sistem ini diciptakan oleh Negara-negara
tersebut prinsipnya untuk memenuhi suatu prinsip solidaritas dengan subsidi
silang. Subsidi silang antara orang sehat ke orang sakit, orang berpenghasilan
tinggi ke berpenghasilan rendah, dan dari pekerja single ke orang berkeluarga. Sistem
seperti ini diharapkan melahirkan suatu kerja sama dan solidaritas sesama sehingga
tidak tercipta diskriminasi di dunia kerja.
Ini bisa disebut sebagai kontribusi
bersama. Pembiayaan asuransi bersama antara pekerja dan pemberi kerja adalah
cara paling sering terjadi dibanyak Negara di dunia ini. Aljazair, Belize, Cyprus, Yunani, Prancis,
Maroko, Pakisan dan Tunisia misalnya, semua Negara ini menggunakan sistem ini. Meskipun
Asuransi untuk pembayaran cuti bersalin yang dibayarkan pemberi kerja saja juga
dipraktekkan di beberapa Negara seperti Yordania dan Peru. Bedanya, di
Yordania, hanya pemberi kerja membayar premi asuransi, selisih antara yang
dibayar dan premi pemberi kerja akan diganti oleh pemerintahnya. Sistem pembayaran
premi asuransi antara 3 pihak memang jarang dipraktikkan, tapi dilakukan oleh
Meksiko dan Honduras. Disana, Negara bersama-sama pemberi kerja dan pekerja
membayar premi asuransi khusus bersalin ini.
Cara kedua, beban pemberi kerja. Kasus ini bisa kita temukan di
Indonesia. Pemberi kerja berkewajiban membayar gaji pekerja selama ia cuti
bersalin. Sebenarnya, sistem ini tidak memenuhi prinsip solidaritas. Tentu,
efeknya, pemberi kerja akan berkeberatan bila pekerjanya cuti lama. Ini yang
menyebabkan diskriminasi terjadi bagi wanita di dunia kerja. Menerima wanita
sebagai pekerja berisiko membayarnya secara Cuma-Cuma saja wanita tersebut hamil
tua dan cuti bersalin. Pemberi kerja dihadapkan pada pilihan-pilihan yang tidak
mudah. Biasanya, pemberi kerja akan lebih menyukai merekrut pekerja lelaki
karena kebijakan seperti ini.
Kadang, meskipun pemberi kerja
merekrut tenaga kerja wanita, mereka cenderung tidak mematuhi aturan tersebut. Sebuah
studi di Zambia dan Ghana, menunjukkan hanya sedikit pemberi kerja yang rela
membayar gaji pekerja yang cuti bersalin sedangkan Negara tersebut memberikan
hak cuti dengan tetap dibayar selama 12
minggu. Hal ini menyebabkan para pemberi kerja lebih memilih memperkerjakan
lelaki ketimbang wanita. Negara lain seperti Malta hanya mewajibkan pemberi
kerjanya membayar 14 minggu pertama dari cuti bersalin dari 18 minggu yang
diizinkan.
Cara ketiga, tanpa kontribusi. Cara terakhir ini sebenarnya
menggeser beban dari pemberi kerja dan pekerja ke pemerintah secara
keseluruhan. Pemerintah pada kasus ini diharuskan sudah memiliki jaminan sosial
yang dibangun dalam suatu sistem keuangan nasionalnya. Pada praktiknya secara
meluas, pemerintah menetapkan rate
tertentu untuk pembayaran jaminan sosial tersebut kepada pekerja yang mengambil
cuti hamil. Banyak Negara yang mempraktikkan cara ini seperti Australia,
Selandia Baru, Wilayah Eropa, kecuali jerman dan inggris, serta banyak wilayah
di belahan dunia.
Cuti Bersalin di Indonesia secara
nyata berada dibawah konvensi ILO No. 183. Indonesia juga belum termasuk Negara
yang meratifikasi konvensi tersebut. Kita perlu mendorong pemerintah untuk
setidak-tidaknya menyesuaikan diri dengan Negara-negara internasional.
Meskipun sebenarnya, kita patut
mengerti dan memahami bahwa ini bukan hal yang mudah. Indonesia masih membebankan
pemberi kerja sebagai pembayar penghasilan pekerja yang mengambil cuti
bersalin. Tentu, ada perlawanan dan ketidakrelaan bagi pemberi kerja bila cuti
bersalin diberikan dengan jangka waktu yang panjang. 68 minggu misalnya,
seperti Swedia.
Swedia bisa memutuskan memberi
jatah cuti bersalin 68 minggu karena pembiayaan mereka dilakukan dengan tidak
membebankan pemberi kerja saja. Mereka membayarnya melalui jaminan sosial. Jaminan
sosial tersebut memberikan kenyamanan bagi pemberi kerja untuk rela mengizinkan
pekerjanya cuti lama. Istilahnya mereka hanya membayar ketika mereka bekerja. Ketika
mereka cuti bersalin, mereka dibayar oleh asuransi. Swedia membayar 56 minggu
pertama dengan 80% dari penghasilan pekerja dengan batasan penghasilan tertentu
dengan sisanya dibayar dengan flat rate.
Negara lain seperti Serbia misalnya, yang pembiayaan penghasilan melalui mixed insurance 100% pada 26 minggu
pertama, 60% 27-39 minggu berikutnya, dan 30% pada 40-52 minggu.
Memaksakan pemberi kerja
membiayai cuti yang panjang, itu akan menjadi insentif negatif bagi pemberi
kerja. Apalagi investor asing, mereka pasti akan berpikir dua kali berinvestasi
di Indonesia. Bila Indonesia mau membuka diri untuk pilihan pembiayaan yang
lain, Indonesia bisa jadi mampu menetapkan waktu yang lebih lama untuk cuti
bersalin.
Pembiayaan lain yang bisa kita
contoh dari Negara-negara lain adalah pembiayaan melalui jaminan sosial yang
dibayar secara tripartit, pemerintah melalui subsidi, pekerja dan pemberi
kerja. Hanya saja kini tantangannya, Kita punya jaminan sosial, BPJS namanya.
Namun BPJS masih saja defisit antara premi dan realisasi pembayaran pada
pelanggan. Kita bisa saja mensubsidi asuransi baru untuk pembiayaan tersebut
bersama pemberi kerja dan pekerja, potongan BPJS sekarang saja banyak yang
tidak rela. Trade off memang. Untuk melahirkan
suatu kebijakan yang menguntungkan semua buat semua, tidak gampang.
Pembiayaan dengan menetapkan rate tetap untuk pekerja cuti hamil juga
bisa dilakukan. Pemerintah harus menyisihkan subsidi lagi untuk membiayai cuti
bersalin. Bila kita ambil laju pertumbuhan total penduduk tahun 2015 sebagai
dasar jumlah kelahiran pertahun yakni 1,49%, setidak-tidaknya, ada sekitar 4,5
juta kelahiran setiap tahun. Bila setengah dari jumlah wanita yang melahirkan
itu adalah pekerja, setidak-tidaknya pemerintah harus menyiapkan subsidi untuk
2 juta wanita pekerja. Bila satu wanita mendapatkan 2 juta saja perbulan dalam rate tetap, kira-kira pemerintah
membutuhkan dana setidak-tidaknya Rp 4 Triliun perbulan untuk subsidi tersebut.
Cara yang paling realistis yang
bisa kita lakukan sekarang tanpa mengubah skema pembiayaan, memang dengan
memaksakan setidak-tidaknya cuti bersalin itu 14 minggu. Bila hendak
menambahkan masa cuti bersalin, masalah pembiayaannya bisa kita kembangkan
seiring niatan awal. Atau kita bisa gunakan sistem Negara-negara lain seperti
pembayaran penuh di 14 minggu pertama, 50% di minggu-minggu berikutnya, dan 0%
pada minggu-minggu setelahnya. Atau kombinasi 100% pada 7 minggu pertama, 50%
pada 7 minggu setelahnya, 50% lagi untuk 7 minggu berikutnya. Dengan sistem
tersebut, biaya cuti bersalin 21 minggu sama dengan 14 minggu.
Sembari memperbaiki lama cuti
bersalin tersebut, kita juga memperbaiki sistem jaminan sosial kita. Negara-negara
maju sudah menunjukkan komitmen “menyelamatkan” ibu bersalin, kita kapan menuju
Negara maju? Alhasil, disuatu masa nanti kita bisa mendambakan Indonesia wujud
sebagai Negara yang memberikan cuti bersalin hingga 68 minggu dengan pembiayaan
murni dari jaminan sosial kita, serta tidak merugikan pemberi kerja dan
pekerja.
Negara-negara maju mencatat, cuti
bersalin yang cukup akan menambah produktifitas pekerja wanita. Penambahan produktifitas
ini akan memajukan sosial ekonomi negaranya. Persentase wanita yang kembali
bekerja setelah cuti bersalin yang lebih panjang lebih tinggi ketimbang wanita
dengan cuti bersalin yang pendek. Pemenuhan penghasilan saat cuti bersalin yang
layak juga akan mempertahankan kualitas hidup pekerja yang mengambil cuti
bersalin. Kalau perlu jenis pembiayaan digunakan dengan prinsip menjunjung
solidaritas, semua terlibat untuk Ibu hamil.
Bahkan banyak negara Afrika yang sudah memberikan cuti hamil setidak-tidaknya 14 minggu. Kita tentu mendambakan Indonesia menjadi negeri yang ramah Ibu hamil. Kita tentu tidak ingin melihat Ibu-Ibu hamil kita “terpaksa” bekerja sampai saatnya mereka melahirkan dan masuk kerja secepat yang mereka bisa. Mereka butuh masa penyembuhan yang layak. Ibu-ibu kita butuh waktu untuk kesehatan yang layak. Mereka butuh untuk hadir disamping bayi barunya.
Memberikan fasilitas itu semua pada Ibu-Ibu kita artinya kita mempersiapkan kejayaan bangsa kita. Karena Ibu adalah kunci kebesaran suatu bangsa.
Bahan bacaan:
Komentar
Posting Komentar