Kita Jangan Teriak Anti Korupsi Saja
Beberapa hari lalu, saya menemani
istri saya berkeliling sekitar wilayah rumah kami, daerah Pisangan-Ciputat. Istri saya
ini orang nya sedikit teliti pada hal-hal kecil. Dia punya banyak sudut pandang
yang saya perkirakan sebelumnya. Mungkin karena itulah saya tergila-gila padanya
#ups. Nah, Ketika kita berjalan beberapa kilometer, ada sebuah spanduk anak
gadis, masih muda, dan cantik.
"Eh, anak muda visi partainya anti korupsi. Sama kayak kampanye aa. Bagus nih a”, kata istri saya.
Lama saya terdiam mendengar
obrolan istri saya yang intinya orang hidup harus jujur. Ada anak muda jujur,
itu bagus. Orang-orang di parlemen itu diisi orang-orang jujur, itu bagus. Saya
cerna obrolan itu, tapi masih ada yang mengganjal di kepala saya. Saya tidak
pernah notice dengan spanduk para
politikus di jalan-jalan selama ini yang berteriak dan berisi “Saya Jujur” atau “Saya Anti Korupsi”. Kali ini pun, Istri saya yang sadar duluan ini. Lah untuk apa notice kalau toh akhirnya yang jadi bintang iklan anti korupsi juga masuk penjara. Semuanya pula. Saya masih ingat juga ada spanduk bilang dia jujur ini-itu, eh itu orang nya dipenjara belasan tahun sekarang karena korupsi. Spanduk-spanduk demikian sudah tidak berguna di era kini.
Spanduk yang ada dibaca istri
sayapun, sama seperti spanduk-spanduk lainnya. Bedanya kali ini modelnya lebih
cantik, lebih mulus, lebih muda, lebih fresh. Ini yang menarik. Mereka masih muda, imut, lucu, cantik pula.
Saya akhirnya coba riset ini orang dari partai mana, apa yang dikerjakannya,
bagaimana visi partainya, misi yang mereka bawa apa. Oh ternyata ini anak dari partai muda, gerakan muda, dan semangat muda. Membaca tulisan teman anak ini tentang pemimpin harus anti korupsi, ini itu, kok saya jadi makin gatel. Kayak ada yang kurang.
Kita Tidak Bisa Membangun Indonesia Dengan Anti Korupsi Saja
Karena ini sudah masuk urusan pemilu, yang artinya, kita jualan ide, ada hal yang harus kita ingat bahwa
kita tidak bisa membangun negara hanya dengan visi anti korupsi. Anti korupsi bukanlah
tujuan yang harus kita capai dalam bernegara. Kita tidak memberi makan rakyat
kita yang kelaparan dengan anti korupsi. Kita tidak bisa menyediakan air bersih untuk
anak-anak di Nusa Tenggara dengan anti korupsi. Menjadikan anti korupsi sebagai tujuan, artinya, kita akan menyiapkan anggaran yang besar untuknya, kita akan menfokuskan energi untuknya. Padahal anti korupsi tidak memberikan ide pembangunan apapun.
Ide Pembangunan tidak bisa kita sarikan dari visi anti korupsi. Anti korupsi tidak bisa jadi tujuan. Anti korupsi adalah budaya yang harus
kita bangun. Anti korupsi adalah cara kita menjamin tujuan kita tercapai dengan
sempurna. Kita tentu tidak bisa memberikan dana yang begitu besar agar “kita
anti korupsi”. Biayanya harus sekecil mungkin, kejujurannya harus setinggi
mungkin. Bagaimana caranya? Sistem yang Akuntabel!
Apa itu akuntabel? Bahasa sederhananya,
akuntabel itu artinya semua yang dikerjakan harus bisa dijelaskan. Kita mengadakan
mesin traktor teknologi terbaru untuk kelompok tani di Kabupaten X misalnya, kita
bisa jelaskan dari mana mesinnya kita beli, siapa vendor nya, berapa harganya,
berapa harga normalnya, berapa biaya angkut traktor dari pabrik ke kelompok
tani, siapa kelompok tani yang menerimanya, apa syarat kelompok tani yang
berhak menerimanya, siapa kelompok tani yang belum menerima, kenapa ia belum
bisa menerima, atau apakah kelompok tani mampu menggunakan traktornya. Semuanya
harus bisa dijelaskan. Itu akuntabel!
Menjadikan anti korupsi menjadi
tujuan, hingga menggelontorkan dana yang berlebihan padanya, ini akan menjadi
biaya sosial yang tinggi bagi masyarakat. Politikus kita hanya akan berfokus
bagaimana agar pelayanan publiknya jujur saja, tapi tidak mengetahui bagaimana
produk dari layanan publik tersebut. Akan lucu sekali, kita punya orang jujur
tapi produk layanan kita tidak berkualitas. Kuantitas pun sangat terbatas. Tujuan
bernegara tetap tidak akan tercapai.
Padahal, tujuan bernegara kita
itu sangat sederhana, yakni: membentuk suatu pemerintahan yang melindungi segenap
bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia.
Jika kita sudah memiliki 4 tujuan
utama tersebut, hal apa yang selanjutnya yang bisa kita maksimalkan? Oh ternyata,
untuk melindungi segenap bangsa, kita perlu pelayanan keamanan yang baik. Polisi
yang mandiri, profesional, melayani dan bebas pungli. Oh ternyata, melindungi
itu juga termasuk masalah pertahanan. Untuk itu, kita butuh TNI yang kuat, profesional,
dan bermarwah. Peralatan alat utama sistem persenjataan harus mumpuni.
Oh ternyata, melindungi segenap
bangsa itu juga termasuk perihal ketahanan. Untuk itu, ketahanan pangan kita
harus terjaga. Sembilan Bahan Pokok harus bisa terjangkau oleh masyarakat.
Cadangan Sembilan Bahan Pokok harus pun harus cukup. Kita harus penuhi kebutuhan
masyarakat manakala terjadi hal-hal darurat yang tidak kita inginkan. Bahan pokoknya
terjamin, industri bahan pokoknya juga harus terjaga. Pertanian mendapatkan
insentif yang cukup dari pemerintah. Petani jadi bergairah meningkatkan
produksi. Teknologi pertanian harus dimodernisasi. Produktifitas yang meningkat
bagaimana yang kita harapkan bila kita masih semangat meminta petani
berproduksi tapi alatnya masih karapan sapi?
Selain ketahanan pangan, kita ternyata
harus tahan ekonomi. Industri kita harus bebas saing, tidak ada monopoli pasar,
ekonomi kita menfasilitasi usaha kecil dan menegah berkembang, melindungi
konsumen dengan layak, atau bahkan ekonomi kita siap dengan gempuran-gempuran
krisis. Untuk itu, kita harus punya protokol krisis, kita harus atur bagaimana
perbankan bisa menambah-tumbuh ekonomi kita sebagai motor perekonomian, kita
harus menjamin para pekerja mendapatkan hak-haknya, kita menjamin bagaimana
kesehatan mereka akan terjaga melalui program-program jaminan kesehatan baik
oleh pemberi kerja maupun insentif dari pemerintah.
Ini belum termasuk ketahanan
idelogi dan ketahanan politik kita. Kita punya pengalaman yang buruk dengan
komunisme dan leninisme dimasa lalu. Kita perlu membendung kebangkitan mereka
agar tidak ada kisah masa lalu yang terulang. Ideologi kita terjaga. Pancasila adalah ideologi terbuka.
Memastikan orang-orang hidup dengan diilhami nilai-nilai Pancasila, kita
berarti memastikan setiap orang itu harus beragama, beradab, bersatu sesama kita,
berdemokrasi dan bertindak adil di masyarakat. Dengan terjaganya ideologi kita,
kita bisa jaga stabilitas politik. Ketahanan politik kita juga akan terjaga, seperti tidak gonta-ganti
presiden, tidak banyak politikus bermain muka di media, tidak ribut-ribut di parlemen, tidak
nonton bokep disaat sidang parlemen, turun ke jalan tapi tidak ricuh, menjaga kebersihan, itu
ketahanan politik.
Bagaimana mungkin kita bisa mewujudkan semua ketahanan tadi, bila kita hanya sampai pada level “saya menjadikan anti korupsi sebagai tujuan yang akan saya bawa ke parlemen nanti. Maka pilihlah saya”?
Kita punya banyak masalah yang
harus kita selesaikan untuk memenuhi tujuan bernegara kita. Memajukan
kesejahteraan umum saja misalnya, Maret 2017, kita masih punya 27,77 juta orang
yang berada dibawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan kita baru Rp 374.478 per
orang per bulan. Kira-kira Rp 12.482 per hari. Ini kurang dari USD 1 perhari. Sedangkan
secara internasional tahun 2011 menurut World Bank, batas minimal nya adalah
USD 1,9 atau sekitar setidak-tidaknya Rp 24.000 per orang per hari. Pada 2015
saja, jika kita kali dua batas garis kemiskinannya, menurut UNICEF, jumlah orang
miskin di Indonesia mencapai 137.541.500 orang. Ada 137 juta orang lebih di
Indonesia yang berpenghasilan dibawah 2 x Rp 354.386 per orang per bulan atau
sekitar Rp 708.772 per orang per bulan. Ini 54% lebih dari jumlah penduduk Indonesia.
Laporan Unicef July 2017 SGD Baseline Report on Children In Indonesia |
Ini masalah. Masalah ini belum
termasuk jumlah pengangguran kita kini yang mencapai 7.01 juta orang. Sudah miskin
dan hampir miskin 137 juta orang lebih, kita masih ada risiko 7,01 juta orang
pengangguran. Yang kerja saja masih miskin, apalagi yang tidak bekerja?
Kesejahteraan ini bukan soal
bekerja, miskin dan hampir miskin saja. Urusan kesehatan juga termasuk
kesejahteraan. Kita baru memiliki 9.767 unit puskesmas tersebar di 34 propinsi
di Indonesia. Pemerintah punya program 1 kecamatan, 1 puskesmas. Nyatanya, Kalimantan
Utara, Papua dan Papua Barat belum mencapai rasio 1 tersebut. Kaltara baru
0,98, Papua 0,70, dan di paling bawah rasionya Papua Barat di 0,69.
Bayangkan 1 puskesmas melayani
dua kecamatan, ada dua masalah yang berisiko akan muncul disini. Masalah yang
pertama, akses menuju kecamatan. Penduduk yang sakit akan membutuhkan waktu
yang lebih lama mencapai puskesmas terdekat untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan. Apalagi kalau kita ingat-ingat Kecamatan di wilayah Papua daerahnya
luas-luas. Ini tentu akan merugikan bilamana sakit yang diderita membutuhkan
penanganan yang segera. Masalah kedua adalah kualitas layanan kesehatan yang
bisa diberikan Puskesmas.
Miris sekali bilamana sudah puskesmas jauh, tapi ketika sampai, layanan juga tidak bagus. Ruginya dua kali.
Ini masalah? Ya ini masalah!
Masalah-masalah ini tidak bisa
diselesaikan hanya dengan “Saya anti korupsi, maka pilih saya!”. Kalau dengan
anti korupsi saja semua masalah selesai, kita tidak perlu susah memikirkan
pendidikan anak-anak kita terjamin dengan baik. Juli 2017 saja menurut laporan
UNICEF, pada 2015 setidak-tidaknya 183.300 anak usia SD, 1,8 juta remaja usia
SMP dan lebih dari 5 juta remaja Usia SMA yang putus sekolah. Anti korupsi saja
tidak bisa menyelesaikan masalah-masalah ini.
Pandangan yang Lebih Baik
Melihat spanduk-spanduk klaim
atas citra diri tidak akan membantu banyak dalam pembangunan negara kita. Kita butuh
orang yang visioner merencanakan pembangunan insfrastruktur kita. Kita butuh
pejabat publik yang visioner melihat kebutuhan transportasi masyarakat kita. Kita
butuh orang-orang yang bisa memastikan anak-anak kita mendapatkan pelayanan
kesehatan yang layak, pendidikan yang cukup, serta pangan yang menyehatkan. Ada
lagi, kita butuh orang-orang yang bisa menjaga visi keamanan lingkungan serta
pembangunan moral kaum muda maupun generasi tua.
Semua kebutuhan tersebut tidak akan bisa dipenuhi oleh satu slogan saja, “saya anti korupsi maka pilih saya”.
Masalah
negara ini jauh lebih kompleks daripada anti korupsi saja. Untuk membangun
masyarakat yang lebih baik, pejabat publik yang lebih terbuka, anti korupsi
harusnya bisa kita tegaskan sebagai usaha untuk menjadikan pengelolaan
kebijakan kita menjadi akuntabel. Jadi kita memaksakan semua kegiatan harus
akuntabel, tapi dengan sistem yang ada. Bukan menjadi anti korupsi sebagai
acara tahunan atau bulanan atau jualan politik yang kita bahkan tidak tahu
manfaat sebenarnya apa.
Menjadi politikus artinya kita
bersiap-siap menjadi pejabat publik. Harusnya, kita berpikir bagaimana menerapkan
prinsip akuntabel pada pengelolaan kebijakan publik kita ketimbang menjual
klaim “saya anti korupsi, maka pilih saya”. Kita punya ide bagaimana memastikan
kelemahan sistem kini agar semakin akuntabel, kita buat rancang bangun nya,
kita presentasikan pada masyarakat. Jual ide rancang bangun akuntabilitas itu. Selain
ide akuntabilitas, kita juga akan jualan ide pembangunannya. Ini jauh lebih baik! Sisi
anti korupsinya dapat, sisi ide pembangunannya dapat. Intinya maksimalkan ide pembangunannya, anti korupsinya harus sudah melekat menjadi satu
dengan mereka. Cara kita memastikannya bagaimana? Ya dari pengawasan dan
akuntabilitas yang ditawarkan dalam rancang bangun ide pembangunnya.
Banyak politikus muda kita
mengklaim mereka menjual ide yang cemerlang, segar dan kuat pada masyarakat. Kalau
yang kita jual itu hanya ide anti korupsi, bahkan sejak zaman Soeharto, itu
sudah jadi jualan banyak politikus. Itu bukan hal baru. Apa yang baru? Rancang bangun
akuntabilitas nya! Apa yang baru? Ide pembangunannya. Kalau kita bisa
memaksakan para politikus muda ini menawarkan ide pembangunan dengan memastikan
akuntabilitas program nya untuk mencapai tujuan bernegara, kita punya masa
depan yang bagus.
Ide pembangunan yang ditawarkan
juga tak harus muluk-muluk. Yang jelas saja. Kita tawarkan misal fasiltas untuk
digitalisasi UMKM, menfasilitasi UMKM melalui e-commerce. Potensi pasar e-commerce
sangat besar. 2016 saja menurut survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
Indonesia, pengguna internet di Indonesia mencapai 132,7 juta jiwa. Ini termasuk
82,2 juta pengguna yang memanfaatkan internet sebagai tempat belanja.
Perlu kita ketahui bahwa 94,8
juta dari pengguna internet kita berusia antara 25-54 tahun. Ini adalah usia
produktif kita. Mereka memiliki penghasilan sendiri, mereka ada yang kepala
keluarga, dan mereka adalah pengakses internet. Menfasiltiasi UMKM dekat dengan
internet bisa jadi membukakan pasar yang lebih besar bagi UMKM untuk
berkembang. Caranya bisa melalui konsultasi bagaimana membuka toko di platform
yang telah tersedia seperti tokopedia, bukalapak, dsb. UMKM ini ada orang-orang
tua yang kurang melek internet, dengan sedikit bimbingan, saya pikir kita bisa
bantu menuju UMKM pasar paripurna. Program ini juga tidak perlu menanti si
politikus terpilih jadi anggota legislatif. Sekarang pun, perkumpulan 3-4 orang
pemuda sudah bisa menfasilitasinya. Apalagi kalau jadi anggota legislatif yang
bisa memaksa pemerintah menyiapkan kelas konsultasi?
Lalu bagaimana dengan rancang
bangun akuntabilitasnya, misal, laporan pengelolaan dana semesteran, laporan
capaian target UMKM yang sudah memasuki pasar e-commerce, jumlah transaksi UMKM melalui e-commerce, atau bahkan pajak yang terkumpul melalui transaksi e-commerce. Dengan informasi-informasi
itu saja, setidak-tidaknya kita bisa memastikan bahwa apakah uang konsultasi
yang kita sisihkan bagi konsultan UMKM tersebut sudah tepat sasaran. Kalau
dananya besar tapi pertumbuhan omset UMKM tidak maksimal, kita bisa
pertanyakan,”Diapakan uang tersebut?”
Ide pembangunan lainnya misal,
ketersediaan hunian tempat tinggal. Kita memiliki bonus demografi dengan
generasi milineal berjumlah lebih 80 juta orang. Mereka adalah konsumen atas
hunian baru. Selain mereka, generasi X dan generasi baby boomer juga ada yang belum memiliki hunian. Bila kita tinjau dari
jumlah rumah tangga yang sudah memiliki hunian, dari 68,21 juta rumah tangga
pada tahun 2016, baru sekitar 91.09% rumah tangga yang memiliki hunian. Artinya
setidak-tidaknya ada sekitar 6,138 juta rumah tangga yang belum memiliki rumah.
Baik rumah milik sendiri, maupun rumah kontrak. Alasannya bisa karena masih
bersama orang tua, bisa juga karena belum sanggup membeli hunian. Apa yang
menyebabkan orang belum sanggup membeli hunian?
Pertama, harga hunian. Semakin
tingginya permintaan atas hunian yang layak, ini akan meningkatkan harga
hunian, baik di kota maupun desa. Di kota, hunian vertikal jadi solusi karena
memang harga tanah sudah mahal. Tapi bila hunian vertikal juga diluar jangkauan
masyarakat, bagaimana hendak membelinya?
Kedua, kuantitas hunian. Hunian yang
ditawarkan semakin langka sehingga harga naik. Harusnya dengan semakin banyak
hunian, harga terjangkau, kita bisa membantu masyarakat memiliki hunian
pertamanya.
Beberapa program seperti 1 juta
rumah sudah didengungkan pemerintah. Tapi apakah 1 juta rumah itu cukup untuk 6,138
juta rumah tangga yang belum memiliki hunian? Nah, kalau jadi politikus
harusnya bisa menawarkan program 2 juta rumah murah, 3 juta rumah murah, dsb. Murahnya
seberapa, ya disesuaikan dengan harga setempat dengan melakukan penyesuaian
pada insentif yang diberikan pemerintah. Bisa melalui pengurangan PBB dan Bea
Balik Nama, bisa melalui pinjaman lunak pada keluarga kurang mampu, bisa
insentif terbuka berupa rumah sewa pada keluarga miskin.
Akuntabilitasnya bisa kita
rancang dengan menyusun dengan ketat syarat penerima bantuan, mengikat pelaksana
anggaran dengan laporan-laporan pengelolaan dana semesteran, melakukan
sidak-sidak pada lapangan, menetapkan syarat layak lingkungan untuk pembangunan
hunian, dan hal-hal lain berupa pengawasan dan peraturan.
Ide pembangunannya jelas, manfaat
jelas, rancang bangun akuntabilitas kuat, pengawasan baik. Nah ini yang bisa
kita sebut sebagai ide baru! Ini yang kita sebut ide yang segar. Jadi janji
para politikus jelas dan terukur. Kita bisa lihat target angkanya, kita bisa
pahami bagaimana cara menempuhnya, dan kita bisa pastikan bagaimana akuntabilitas
program-programnya. Bukan seperti sekarang yang didominasi oleh janji kosong
dan oase palsu.
Katanya, kita kaum muda. Katanya, kita generasi pengubah. Katanya, kita pembeda. Kok yang berjanji dan klaim cara yang sama dengan generasi tua? Kapan berkembangnya kita?
wuih, alhamdulillah nggk sia2 baca artikelnya. lanjtutkan terus bang
BalasHapus