Masalah Kita Banyak, SARA bukan salah satunya, Melainkan Kita!
Ketika film Umar nge-hits beberapa tahun lalu, saya sempat memikirkan ucapan Abu Bakar
Ash-shiddiq tentang sabda nabi, “Al-aimmah
min Quraisy”. Saat itu Umar, Abu Bakar dan kaum muhajirin mendatangi Kaum
Anshor yang sedang berkumpul menentukan Khalifah penerus ajaran nabi. Pada
forum itu pula, Abu Bakar di baiát oleh Umar bin Khattab dan kaum Muslimin
menjadi Khalifah.
Ketika itu saya berpikir, jika
Rasulullah bersabda demikian, bukankah ini artinya jika kita memilih pemimpin,
kita harus pilih sesuai dengan SARA? Rasulullah seorang Quraisy, ia
mengutamakan Quraisy dalam kepemimpinan. Ini wajar?
Terus saya coba melakukan riset
untuk mengetahui lebih lanjut masalah ini. Sabda ini akan mengubah sikap saya
bila saya memahami dengan cara yang berbeda. Ternyata, perihal ini, Syarat kaum
Quraisy menjadi pemimpin/imam, sudah dibahas oleh ulama secara luas. Sebagian
menjadikan “Quraisy” sebagai suatu syarat iníqad (legal). Tidak ada
kepemimpinan kecuali dibawah tangan Quraisy. Sebagian lagi menempatkan Quraisy
sebagai suatu nilai tambah (Afdl Aaliyah), bukan syarat legal. Boleh ada
kepemimpinan selain dari Quraisy, namun bila disodorkan nama-nama calon
pemimpin, maka nama dari Quraisy mendapat keutamaan untuk dipilih bila semua
calonnya sama-sama baik.
Pendapat kedua adalah pendapat
jumhur ulama. Pendapat kedua ini pula yang melegitimasi kekuasaan Kekhalifahan
Turki Usmani yang jelas-jelas bukan keturunan Quraisy. Pendapat kedua ini pula
yang menjadikan dasar para ulama menerima Khilafah dari Turki Usmani.
Kalau kita Tarik sabda tersebut
dengan kehidupan kita sehari-hari di Indonesia kini, apakah kita boleh memilih
pemimpin dengan didasari kesamaan SARA? Apakah kita harus mendahulukan pemimpin
yang memiliki kesamaan SARA dengan kita ketimbang yang lebih baik Ilmunya,
lebih baik kepemimpinannya, lebih baik kepribadiannya serta lebih baik
pengalamannya?
Jawaban yang paling dekat yang bisa kita ambil adalah:
Pertama, Tidak masalah memilih pemimpin dengan didasari oleh kesamaan
SARA. Lagi pula, tidak ada juga aturan yang melarang memilih pemimpin atas
kesamaan SARA. Toh bangsa ini terdiri dari golongan-golongan. Tentu, kita harus
izinkan seseorang memilih atas dasar kesamaan Partai Politik. Kita juga tidak
bisa larang seseorang untuk memilih pemimpin yang satu suku dengan dia. Satu
partai saja tidak dilarang, satu suku juga tidak dilarang, satu asal daerah
tidak dilarang, apalagi memilih satu agama?
Akan sedikit terasa asing bila di
perkumpulan paguyuban Jawa diketuai oleh seorang Melayu, bukan? Akan sedikit
susah dirasa juga, bila disuatu wilayah yang dominan Melayu Limo Koto dipimpin
oleh orang Batak. Misal, kabupaten A mayoritas adalah orang Melayu Limo Koto,
adat istiadat yang berlaku umum Melayu Limo Koto, norma-norma yang berlaku
sehari-hari Melayu Limo Koto, mereka punya tokoh-tokoh yang mampu membangun
masyarakat mereka, masa mereka dilarang memilih Calon dari Melayu Limo Koto dan
harus memilih orang Batak, misalnya, kan?
Pemimpin daerah toh harus yang paling dekat dengan masyarakatnya, bukan? Mereka harus yang paling tahu kebutuhan masyarakatnya, harus yang paling mengerti keinginan masyarakatnya, harus yang paling merasa suasana hati masyarakatnya. Setelah itu, para pemimpin itu akan bisa memberikan solusi paling tepat untuk masyarakat yang diurusinya.
Lah, orang batak kan ada yang
jadi Budayawan Melayu. Oh itu benar. Kita kalau sudah setidak-tidaknya 5 tahun
berada diwilayah tersebut, ya kita sudah bisa memakai asal dari daerah
tersebut. Saya sudah di Banten 7 tahun, ya saya bisa pakai Al-Bantani. Apalagi
melayu kan, orang yang belajar nilai-nilai melayu, berada di wilayah melayu,
hidup dengan cara melayu, ya otomatis sudah menjadi orang melayu kecuali tidak
mengakui dirinya sebagai seorang melayu, Meskipun ia punya hak untuk mengaku
sebagai seorang melayu.
Kedua, Lebih disarankan memilih pemimpin Yang Diterima oleh Banyak
Pihak. Kita cenderung melihat kualitas seseorang dalam memecahkan masalah
itu berbeda-beda. Ada yang punya pengetahuan yang baik, tapi tidak mampu
mengelola konflik. Ada yang pandai mengelola konflik, namun tidak punya impian
yang besar. Sebagian besar pemimpin bijak yang kita miliki secara tradisional
memiliki kemampuan ini, bijak. Hanya saja, terbatasnya ilmu pengetahuan,
informasi, interaksi sosial dengan masyarakat lain, menjadikan mimpi-mimpi
mereka terbatas.
Biasanya, pemimpin-pemimpin yang
lahir secara tradisional ini bisa kita sebut sebagai society’s made Leader. Ia
lahir dari norma, pengaruh, harapan serta kepercayaan masyarakatnya. Ia lahir
dan tumbuh besar dengan masyarakatnya. Ia tidak berebut dan merebut kepercayaan
itu. Kepercayaan tidak timbul dengan rebut-merebut, melainkan didapatkan dengan
usaha dan tindakan. Bilamana ia rebut-merebut, ia sudah tentu tidak diberi
kekuasaan itu.
Saya masih ingat betul ketika SD,
kita menghindar semua ketika disuruh jadi ketua kelas. Lalu muncul satu orang
yang mau jadi ketua, terus ada satu orang lagi yang jadi korban menjadi lawan
si yang mencalonkan diri. Biasanya sih korbannya adalah anak paling dikenal
dikelas, anak yang paling baik dikelas atau anak yang paling unik dikelas. Hampir
sebagian besar siswa akan memilih yang tidak mencalonkan diri tersebut. Si yang
mau jadi ketua kelas biasanya hanya jadi wakil ketua.
Dalam islam juga demikian, Rasulullah
pernah bersabda “Demi Allah kami tidak mengangkat seseorang pada suatu jabatan
kepada orang yang menginginkan atau berambisi pada jabatan itu”. Hadits Bukhari
Muslim. Walaupun kenyataannya yang paling bagus visi dan bekerjanya ya si wakil
ketua. Si Ketua hanya jadi anak populer di mata anak kelas. Yang kerja si
wakil, yang mendamaikan ya si ketua.
Karena menjadi pemimpin ya
demikian itu tugas dan fungsinya. Mendamaikan, memberikan keadilan. Sebagaimana
Daud dalam Surat Shad ayat ke 22. “Wahai Daud, Kami jadikan engkau khalifah
dimuka Bumi, maka berilah putusan dengan adil. Dan janganlah mengikuti hawa
nafsu”. Mereka yang dikenal sebagai penengah dimasyarakat, yang menfasilitasi
keadilan bagi mereka, merekalah yang harusnya menjadi pemimpin dimasyarakat.
Bagaimana jika mereka menolak? Ya
tidak masalah. Abu Bakar juga tidak langsung menerima untuk jadi Khalifah. Umar
juga menghindar dan menolak baiát Abu Bakar sehingga Abu Bakar yang jadi
Khalifah. Mereka hidup dan besar dalam dan oleh masyarakat, mereka menolak
harus jadi pemimpin umat mereka. Merekalah yang pantas menjadi pemimpin.
Sama, kita cari yang seperti ini untuk Riau kita. Mereka yang tumbuh dimasyarakat kita, mereka yang diterima baik oleh semua masyarakat kita.
Terus bagaimana posisi kita dalam memilih pemimpin yang berkualitas?
Perlu kita pahami bahwa masyarakat
kita belum siap menerima orang-orang yang berkualitas dalam memimpin.
Masyarakat kita belum sanggup untuk maju dan memilih orang terbaik menjadi
pemimpin. SARA, kedekatan dan mistis masih menjadi dorongan utama masyarakat
kita dalam memilih. Kita tidak bisa mengacuhkan hal ini. Kita masih seburuk
itu. Kita masih setertinggal itu.
Yang perlu kita bangun sekarang adalah bagaimana orang yang SARA sama dan dekat itu berkualitas. Caranya? Kita tingkatkan indeks pembangunan manusia kita. Mulai dari pendidikannya, kesehatannya, dan standar hidupnya.
Untuk menyiapkan putra daerah
terbaik, kita harus yakinkan sekolah gratis 12 tahun dirasakan oleh semua
pihak. Kini menurut BPS tahun 2017, secara nasional saja, walau sudah gratis, 5
dari 1000 anak SD putus sekolah. SMP yang putus sekolah 17 dari 1000 anak SMP.
SMA 33 dari 1000 anak yang putus sekolah. Semakin tinggi tingkat pendidikan,
semakin banyak anak yang putus sekolah. Mayoritas, anak-anak tersebut tinggal
di pedesaan. Dengan perbandingan putus sekolah anak kota : desa adalah 4:6
untuk SD, 12:23 untuk SMP, 26:43 untuk SMA. Untuk perguruan tinggi,
perbandingannya lebih menyedihkan lagi 39:118.
Secara nasional, rata-rata lama
sekolah penduduk usia 15 tahun menurut data BPS 2017 adalah 8,5 tahun. Itu
artinya, secara nasional anak-anak Indonesia dengan usia diatas 15 tahun hanya
bersekolah sampai menamatkan kelas 2 SMP.
Kira-kira, jenis putera daerah dengan kualitas yang seperti apa yang diharapkan dengan rata-rata sekolah hanya sampai kelas 2 SMP saja?
Satu-dua orang akan punya
kualitas yang mumpuni. Mereka menyelesaikan pendidikan 12 tahun, dilanjutkan ke
perguruan tinggi. Ini asumsi mereka sudah terdidik dengan baik dan kurikulum
mendukung pendidikan mereka dengan baik ya. Masyarakat mereka adalah masyarakat
yang baru 8,5 tahun sekolahnya.
Walaupun mereka punya ide yang sangat cemerlang untuk ditawarkan, masyarakat mereka tidak siap menerima ide-ide mereka.
Maka dari itu, contoh kecil,
Gojek hadir, demo taksi, angkot dan tukang ojek kadang diakhiri anarkis. Saya berada
loh diantara perang batu di depan gedung DPR saat demo Gojek itu. Gojek adalah
bentuk karya baru milineal yang memudahkan semua transaksi transportasi jarak
dekat. Perubahan itu tidak siap diterima oleh masyarakat. Masyarakat bergejolak,
bahkan Menteri ikut-ikutan gelisah dan resah. Itu karena kita tidak siap
menerima orang-orang dengan ide yang terbaik yang lahir dari pendidikan yang
terbaik.
Ujung-ujungnya, masyarakat kita
hanya mendewakan orang-orang yang bisa memenangkan jabatan. Itu akan memberi
rasa nyaman pada mereka. Apalagi kalau yang dipilih bisa mewakili kepentingan
mereka.
Yang mereka pilih, akhirnya, ya yang berjanji mengamankan mereka, yang berjanji melarang perkembangan teknologi hadir ditengah mereka, yang berjanji memberi mereka uang. itu masalah!
Jika pendidikan gagal memenuhi
gairah perkembangan masyarakat kita, bagaimana kita hendak meningkatkan standar
hidup kita? Masyarakat kita masih semangat sekali membuka kebun sawit tanpa
sadar merusak lingkungan kita. Apa peduli kita dengan lingkungan kalau uang
bisa masuk ke rekening kita dengan lancar, toh? Bakar saja hutan kita. Hemat biaya
buka lahan. Bakar saja hutan perusahaan A, toh kita dibayar mereka. Tinggal
bakar saja pun, bukan pula susah.
Kemudian akibat dari dosa-dosa
yang kita lahirkan dari pendidikan yang gagal mendidik masyarakat kita itu,
yang hanya 8,5 tahun itu, kita dihadapkan dengan asap, banjir, mati lampu,
penyakit pernafasan, campak, demam berdarah, malaria dan tipes. Standar hidup
kita menurun. Uang makan dipotong untuk uang berobat. Uang sekolah diambil
untuk makan. Uang transpor dipakai untuk uang perbaikan rumah akibat kebanjiran.
Kita menjadi miskin karena kesalahan kita sendiri! Kita menjadi susah karena kesalahan kita sendiri! Terus sebagai pembelaan, kita salahkan pemerintah pusat. Sebagai pengobat rindu, kita minta pemekaran kecamatan, kabupaten, dan propinsi.
Kalau kita hanya berputar
pada dosa-dosa ini, kita hanya akan menjadi miskin selama-lamanya.
Untuk itu, kita bisa memilih
pemimpin dengan dasar SARA, tapi kita harus pastikan ia serius meningkatkan
kualitas pendidikan kita. Kualitas saya bilang, bukan sekedar jumlah gedung
yang bertambah, tapi kualitas gedungnya yang tidak hancur karena angin begitu
saja. Kualitas yang saya maksud juga guru yang layak mengajar, perbandingan
siswa per kelas dan jumlah guru mengajar, sarana teknologi sekolah, sarana
prasarana menuju dan dari sekolah, fasilitas pengembangan ekstrakurikuler
disekolah, perbaikan kurikulum yang membosankan dan tidak applicable serta peningkatan penghasilan pengajar.
Kita bisa pacu anak-anak kita
melek teknologi, informasi, perkembangan zaman, sehingga mereka bisa membantu
orang-orang tua kita berubah dan berkembang. Kita bisa selamatkan anak-anak
kita dari narkoba ya Itu melalui pendidikan. Kini di 2017, persentase jumlah
siswa yang mengakses internet dalam 3 bulan terkahir baru 52,38%. Jika Riau
punya peserta didik 1,29 juta, setidak-tidaknya 615.9 ribu diantaranya belum
mengakses internet. Jika pendidikan model ini kita pertahankan, kekayaan
informasi apa yang bisa diperoleh oleh generasi muda kita? Ini tantangan kita. Selain
memang, akses internet ya positif, bukan hal-hal porno.
Selain itu, Kita juga bisa
memilih orang yang bijak diantara kita menjadi pemimpin namun kita harus
pastikan visinya. Jangan sampai saking bijaknya, standar hidup kita tidak
berkembang, kesehatan ya gitu-gitu saja.
Kalau hanya untuk mempertahankan apa yang kita sudah dapatkan hari ini, ya tidak perlu orang tua jadi Gubernur. Anak SD juga bisa toh?
Maka dari itu, silahkan pilih pemimpin berdasarkan SARA, Kedekatan,
namun pastikan ia punya visi yang baik dalam hal pendidikan, kesehatan dan
standar hidup.
Kalau dia hanya menjanjikan uang
buat kamu memilih dia, menjanjikan bantuan sosial, menjanjikan hadiah dsb,
buang saja ke tong sampah. Kita tidak bisa meningkatkan kualitas hidup dengan
bantuan sosial 300 ribu per orang per bulan. Makan saja itu tidak cukup.
Biayanya mahal, tapi pemikiran kita tetap miskin. Kita bisa meningkatkan
standar hidup kita dengan BBM yang disubsidi pemda. Biayanya mahal, uang
dipakai sia-sia. Tapi tidak meningkatkan standar hidup juga.
Kita juga akan tetap galau
kesehatannya, puskesmas saja jauh dari satu tempat ke tempat lainnya. Rasio
puskemas perkecamatan di Riau 1,31. 3 kecamatan 4 puskesmas. Total puskesmas di
Riau 213 Puskesmas, 79 nya memiliki fasilitas rawat inap, 134 lainnya non rawat
inap. Dari semua puskesmas di Riau itu, hanya 28 puskesmas pada tahun 2016 yang
dianggap memberikan layanan sesuai standar di Indonesia. Sisanya? Ini yang
bikin galau kita-kita.
8,02% diantara 213 puskesmas
terdata kekurangan dokter, walau 65,57% lainnya “terdata kelebihan dokter”. Ini
artinya, Puskesmas ada, tapi dokternya entah kemana. Puskesmas ada, tapi atrian
jaminan kesehatannya bikin orang meninggal saat menantinya. Puskesmas ada, tapi
peralatan ada dan tiada. Hanya 28 dari 213 puskesmas yang sesuai standar yang
melapor pada 2016. Itu pun hanya di 5 kabupaten saja. Lalu kemana saja 185
puskesmas lainnya? Berbuat apa saja kabupaten sisanya?
Kita juga tidak bisa memperbaiki
semua masalah tadi hanya dengan janji dimekarkan menjadi kabupaten baru,
kecamatan baru, propinsi baru.
Kabupaten yang baru yang sejahtera hanya pejabat barunya, kontraktor yang bangun gedung barunya, serta pengusaha yang mensponsori yang bakal menang banyak tendernya. Masyarakatnya ya tetap saja miskin. Masyarakatnya ya tetap saja tidak diurus mereka.
Kemendagri bahkan menyebut 67% daerah
hasil pemekaran gagal alias tidak sesuai harapan. (sumber).
Pemekaran Propinsi secara garis besar bagus hasilnya (sumber). Namun, kabupaten? Apakah kita yakin bahwa pemekaran itu disiapkan untuk
masyarakat kita atau kepentingan golongan semata? Mereka tak dapat jatah di
daerah sekarang, terus panas-panasi masyarakat untuk dimekarkan?
Lantas bagaimana jika semua calon menawarkan itu semua dan tidak ada
yang punya visi yang bagus?
Bertaubatlah, mohon ampun kepada
Allah kenapa bencana diberikan kepadamu untuk kamu pilih dengan tanganmu
sendiri. Bangun! Kawal! Terus pantau mereka. Jangan berhenti menyampaikan
ide-ide pembangunan. Terus-terus aktif secara nyata dilapangan.
Nyawa mungkin akan berhenti, tapi ide tidak akan pernah benar-benar mati. Ia akan diwariskan, ia akan digali kembali.
Dengan tidak berhenti,
setidak-tidaknya, kalaupun kita kalah nanti, masa depan mungkin akan menemukan
ide besar kita kembali. Ide tentang bagaimana membangun pendidikan yang
berkarakter dan baik. Ide tentang bagaimana meningkatkan standar hidup kita. Ide
tentang bagaimana kita berusaha meningkatkan kesehatan kita semua. Saat para
pejuang memahami ide-ide ini, generasi berganti, suatu masa nanti, negeri ini
akan sejahtera dengan sendiri. Hanya saja, kini kita tidak boleh berhenti.
Komentar
Posting Komentar