Tanpa kritik, Pemerintah Tak Berkembang. Tanpa Kelembutan, Kritik Burukkan Keadaan
Zaman nabi, konsepsi negara
Madinah belum dipatenkan sehingga kepemimpinan Islam berkembang dari tahun ke
tahun dari dan oleh Umat Islam itu sendiri. Beberapa kebijakan
pemimpin-pemimpin awal dalam kekhalifahan Islam menjadi sumber dalam pendirian
negara itu sendiri. Dalam setiap jenjang pemerintahan, ada kritik dan polemik
yang harus dihadapi.
Kritik paling awal yang dihadapi
oleh kekhalifahan Islam adalah masalah pembayaran zakat. Abu Bakar Ash-Shiddiq
kala itu memegang amanah sebagai khalifah pertama Umat Islam. Banyak kabilah
yang enggan membayar zakat dan menyatakan bahwa zakat hanya kewajiban pada
zaman Nabi. Abu Bakar pun mengirim pasukan untuk “men-taubat-kan” para
pembangkang ini.
Kebijakan ini tentu mendapat kritik
keras dari Umar bin Khattab dan para sahabat lainnya. Umar menyampaikan,
"Bagaimana kita akan memerangi orang yang kata Rasulullah Sallallahu
alaihi wasallam : Aku diperintah memerangi orang sampai mereka berkata: Tiada
tuhan selain Allah dan Muhammad Rasul-nya. Barang siapa berkata demikian darah
dan hartanya terjamin, kecuali dengan alasan, dan masalahnya kembali kepada
Allah.”
Para sahabat terpecah menjadi dua
golongan. Pertama, yang menginginkan menyatukan kekuatan dengan para
pembangkang zakat tersebut dan fokus menghadapi musuh bersama. Kedua, memerangi
kabilah yang tidak mau membayar zakat.
Golongan pertama menjadi mayoritas dalam pertemuan-pertemuan tersebut. Abu Bakar berada di golongan Kedua.
Ia berdiri bersama minoritas keyakinan sambil tanpa ragu Abu Bakar
langsung menjawab Umar: "Demi Allah, aku akan memerangi siapa pun yang
memisahkan Sholat dengan zakat. Zakat adalah harta. Dikatakan: "kecuali
dengan alasan".
Mungkin kala itu, Abu Bakar
maksudnya sebagaimana Peristiwa yang pernah terjadi antara Rasulullah dengan
delegasi Saqif yang datang dari Ta'if, bahwa mereka menyatakan bersedia masuk Islam
dengan permintaan agar dibebaskan dari kewajiban sholat. Waktu itu Nabi
Muhammad SAW menolak permintaan mereka dengan mengatakan:
"Tidak baik agama yang tidak
disertai salat". Mungkin inilah yang dimaksudkan Abu Bakar mereka yang
memisahkan sholat dan zakat. Zakat bagian dari tuntunan agama, sholat adalah
tiang agama. Tidak terpisah keduanya, melainkan karena dengan alasan.
Dalam menyimpulkan pembicaraan itu,
sumber-sumber menyebutkan bahwa Umar kemudian berkata: "Demi Allah, tiada
lain yang harus kukatakan, semoga Allah melapangkan dada Abu Bakr dalam
berperang. Aku tahu dia benar."
Kritik-kritik tersebut menjadi
perbincangan yang hangat di tengah-tengah umat. Kala itu, umat masih gamang.
Kita baru kehilangan pemimpin Nabawiyah dan diganti oleh pemimpin dari suku
Quraisy yang satu suku dengan Nabi. Umat masih bingung, apa-apa kewajiban di
zaman nabi apakah tetap harus dilaksanakan bila nabi telah tiada? Abu Bakar
tampil sebagai pemimpin yang kuat dan penuh percaya diri.
Kritik-Kritik Kita Di Masa Lalu
Indonesia sebagai sebuah negara telah
menjalani proses ini. Dalam menjalankan pemerintahan, kritik kepada pemerintah
dilakukan secara bebas dan bertanggung jawab. Secara struktur formil, negara
memiliki Legislatif yang memiliki fungsi utama “mengkritisi” kinerja eksekutif
(pemerintah). Hanya saja, Masyarakat juga memiliki kebebasan untuk menyampaikan
aspirasi tanpa terikat ruang dan waktu.
Gerakan masyarakat massif yang
paling pertama pasca kemerdekaan adalah gerakan mahasiswa angkatan 1966 yang
mengusung Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) sebagai visi perjuangannya. Selanjutnya,
pergerakan inilah yang meruntuhkan kekuasaan Orde Lama dan diganti oleh nahkoda
baru Orde Baru, Soeharto.
Setelah itu, ada kejadian Malari
(Lima Belas Januari). Kejadian ini terjadi pada tahun 1974 dalam menyambut
kehadiran PM Jepang, Kakuei Tanaka. Demonstrasi besar-besaran ini diakhiri
bentrok besar dan kericuhan besar. Sejumlah fasilitas publik terbakar habis.
Mahasiswa mengejutkan aparat keamanaan pemerintah demi “mengkritisi” adanya
indikasi penyelewangan program-program pemerintah oleh para pejabat dan aspirasi
yang dibungkam oleh pemerintah orde baru.
Tidak lama setelah itu, gerakan
reformasi 1997-1998 pun muncul. Kericuhan, korban nyawa, kerusakan fasilitas
publik kembali terulang. Kritik masyarakat atas pemerintahan yang korup menjadi
ledakan konflik yang berakibat terjadinya pelanggaran hak asasi manusia oleh
aparat keamanan.
Kritik-kritik yang berakhir ricuh
tersebut lahir dari kritik-kritik kecil yang disisipi isu SARA. Reformasi 1998
misalnya, kritik pada pemerintahan yang korup disusupi oleh isu cina dan
islam-kristen. Terjadi kericuhan yang teramat besar, pemerkosaan, pengrusakan, dan
penjarahan.
Kericuhan terjadi di toko-toko, kediaman etnis cina, dan itu tidak dilakukan oleh mahasiswa sama sekali.
Kritik-Kritik Kita Kini
Kini kita sudah menikmati
reformasi hampir 20 tahun. Ruang aspirasi publik kita sudah terbuka oleh Pak
Habibie. Gus Dur pun sudah berinisiatif menghilangkan sentimen etnis dan agama.
Puncaknya, ketika media sosial sedang booming zaman Pak SBY. Semua kritik, berita bohong dan keributan terjadi di dua dunia, dunia nyata dan kini dunia maya.
Batas-batas kritik sudah tidak
mengenal ruang dan waktu. Para pejabat kini sudah berada di media sosial. Para
Pejabat kini sudah menggunakan media sosial. Saya masih ingat ketika menjelang
Wisuda tahun 2013 lalu, dan wisuda kami ditunda karena Menteri Keuangan
berhalangan hadir pada tanggal semula. Semua pengeluaran pribadi wisudawan
tidak bisa ditarik kembali.
Tiket pesawat sudah dibeli, kamar
hotel sudah dibayar, down payment
kendaraan sewa menuju dan dari tempat acara sudah dibayar. Tiba-tiba perhelatan
wisuda ditunda. Untuk beberapa keluarga yang mapan, mereka bisa berdamai dengan
kerugian penundaan acara tersebut. Ada lagi beberapa keluarga yang beruntung,
seperti saya misalnya, keluarga saya belum membeli tiket pesawat, hotel maupun
akomodasi apapun ketika itu. Hanya saja, tidak sedikit teman saya yang berasal
dari keluarga biasa-biasa saja, alih-alih mendapatkan harga promo dengan
memesan lebih awal, semua pengeluaran akhirnya sia-sia. Ini menjadi beban yang
lumayan berat kala itu.
Biaya wisudanya hanya Rp 800
ribu, tapi biaya akomodasi keluarga yang sudah keluar bisa saja mencapai Rp 4
jutaan. Ketika itu kita masih ingat sekali ada anjuran agar kita menjaga status
media sosial kita mengenai “wisuda” ini. Lepas dari kawalan kita, ada satu anak
mention Menteri Keuangan di twitter.
Beliau bertanya “Äpakah penundaan wisuda kami karena sibuknya agenda beliau?”. Anak
ini bertanya dengan literasi yang sangat sopan. Hanya saja, kebathinan ketika
itu, dimana seorang mahasiswa yang “belum” lulus mention menteri nya bertanya apakah wisuda dia ditunda karena
agenda si menteri, ini sangat high tense.
Puji Tuhan ketika itu, menteri langsung
merespon twit tersebut dengan baik pula sambil berjanji akan hadir di wisuda
yang telah kembali dijadwalkan. Anaknya bertanya dengan sopan, menterinya
menjawab dengan layak. Namun, seantero akademika bergejolak. Semua pihak
memastikan semoga Pak Menteri tidak tersinggung akan pertanyaan anak tadi.
Sampai wisuda dilaksanakan, Pak Menteri hadir pada pelepasan kami sebagai
wisudawan. Beliau menagih janji kami untuk bangsa ini, sembari beliau memenuhi
janjinya untuk hadir melepas kami ke dunia nyata.
Kasus tersebut menggambarkan bahwa batas ruang sudah tidak ada lagi, batas waktu tidak terikat lagi. Mahasiswanya bisa menyampaikan kritik secara langsung pada menterinya. Menterinya bisa berkomunikasi langsung dengan mahasiswanya. Ini perkembangan yang luar biasa.
Tadi itu contoh positif.
Semakin kesini, kritik kita
semakin bebas. Kritik kita sering kali berisi ujaran-ujaran kebencian dan
berita-berita bohong dengan muatan politik yang jelas. Sering kali, yang
dikritik tidak pula melakukan klarifikasi. Akhirnya, setiap isu yang muncul menjadi
pemecah kerukunan.
Jika 132,7 juta penduduk
Indonesia menggunakan Internet dimana 129,2 juta diantaranya adalah pengakses
media sosial, maka kritik yang salah ini punya kesempatan untuk menyentuh ke
semua orang yang mengakses media sosial di Indonesia. Ini sangat rentan.
Maka dari ini, kita tidak jarang
membaca cuitan politikus mengomentari politikus lainnya di Media Sosial. Dimensi
kritik kini meluas. Voters kini
mendapat informasi tidak melalui berita dari tv atau radio saja, melainkan
media sosial berupa tulisan dan gambar. Menguasai media sosial, memiliki banyak
akun kloningan dengan bala tentara siber, ini akan menguatkan kemenangan di
media sosial.
Apalagi biasanya kritik yang hoax ini disebarkan 91.8% diantaranya
memiliki muatan sosial politik. Bila kita tidak hati-hati menanggulanginya, ini
bisa berakibat ledakan konflik kembali pada tahun-tahun mendatang.
Toh, informasi salah, bila kita selalu ulang-ulang, itu akan menjadi kebenaran, bukan?
Bagaimana Harusnya Kita Mengkritik
Esensi dari kritik sebenarnya adalah bagaimana kita bisa menjadikan kondisi yang ada menjadi lebih baik, konstruktif.
Perubahan adalah sesuatu yang
diinginkan dari kritik. Perubahan tidak mudah dilakukan, selalu ada tantangan
yang menghalangi. Benturan kepentingan akan menyebabkan kondisi yang tidak
stabil. Bilamana kritik menyebabkan kondisi instabilitas, apakah itu bisa
dikatakan sebagai kritik yang baik? Bila kondisi menjadi lebih buruk karena kritik
apakah itu menjadi maksud kegagalan proses kritik tersebut?
Kita harus lihat dimensi dari
kritik tersebut. Kritik memiliki dimensi subjektifitas dan emansipatoris. Subjek
adalah orang. Subjektifitas adalah pandangan yang bergantung pada informasi
yang terima oleh seseorang. Ketika orang tersebut memiliki pandangan subjektif,
ia punya dorongan untuk menyampaikan, melakukan dan menikmati keinginannya secara
bebas.
Jadi secara sederhana, dimensi
kritik berkait erat dengan pandangan seseorang atas informasi yang ia miliki
dan kebebasan ia memilih, melakukan, dan menikmati yang diyakininya. Salah satu
saja dari dimensi kritik diciderai, orang akan menganggap pihak berkuasa
melakukan tindakan represif.
Bila tindakan represif dilakukan,
akan muncul sikap defensif. Sikap mempertahankan diri yang lebih kuat, akan
merusak keseimbangan. Keseimbangan yang rusak, merusak pula tatanan sosial dan
masyarakat.
Contoh sederhananya, Arab Spring beberapa tahun lalu yang
menjatuhkan Hosni Mobarak. Gelombang kritik yang kuat, tindakan represif aparat
keamanan, melahirkan desakan politik yang mengubah alur politik Mesir. Hosni
Mobarak jatuh. Rakyat menang. Padahal hari ini, pasca jatuhnya Hosni Mobarak,
dan kudeta militer kembali kepada Presiden sipil pertama, Rakyat Mesir tidak
lebih baik saat Hosni Mobarak berkuasa. Bahkan lebih menyedihkan.
Bahkan tataran agama, kritik pada
pemimpin disarankan untuk dipelankan. Rasulullah bahkan bersabda, “Barang siapa
ingin menasihati seorang penguasa maka jangan ia tampakkan terang-terangan,
akan tetapi hendaknya ia mengambil tangan penguasa tersebut dan menyendiri
dengannya. Jika dengan itu, ia menerima (nasihat) darinya maka itulah (yang
diinginkan, red.) dan jika tidak menerima maka ia (yang menasihati) telah
melaksanakan kewajibannya.” (HR. Ahmad)
Kritik pemimpinnya, sampaikan
kebenarannya, tapi perbaiki caranya. Allah berfirman “Pergilah kamu berdua
kepada fir’aun, sesungguhnya ia telah melampaui batas. Maka bicaralah kamu
berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia
ingat dan takut” (Thaha ayat 43-44).
Karena sesungguhnya kalimat-kalimat
lembut itu akan menghiasinya. Bilamana ia dicabut, tidak berlembut lagi, ia
tidak lain akan memperburuknya.
Fir’aun saja harus dilemah-lembutkan, apalagi pemerintah yang sama-sama seetnis, seagama dan sebangsa?
Untuk menghadapi kritik ini,
pemerintah bisa melakukan komunikasi pada subjektifitasnya. Wisudawan butuh
menteri, maka menterinya hadir. Harga BBM butuh dipastikan, maka pemerintah
siapkan formula yang memberikan win-win
solution kepada semua pihak. Daya beli turun, maka pemerintah berikan
dorongan dengan operasi pasar. Sehingga, apa-apa yang diinginkan, akan
terwujud.
Apabila masalah utamanya adalah
berita hoax. Pemerintah harus pasok
informasi yang benar pada orang-orang. Gunakan media sosial untuk menyampaikan
program pemerintah hingga masuk ke rumah-rumah warga negaranya. Subjektifitas
erat hubungan dengan informasi yang seseorang dapatkan, dengan sumber daya yang
besar, pemerintah harusnya mampu menyampaikan informasi tersebut. Berdiam diri
dan berharap ada yang membela di Medsos saja dari fans-fans garis keras tidak
akan mengubah banyak hal.
Untuk itu, kita sebagai
masyarakat harus benar-benar beradab dalam menyampaikan aspirasi. Esensi kritik
adalah menjadi lebih baik. Jika kritik kita memperburuk keadaan, kita perlu
sampaikan kepada pemimpin secara langsung dengan lembah lembut. Umar saja setelah mengkritik Abu Bakar terus mendukung Abu Bakar dalam perang. Apalagi kita kan? Keadaan yang
buruk karena kritik kita tentu adalah dosa yang harus kita tanggung jawabkan
diakhirat kelak.
Dan pada akhirnya, hal yang patut
kita jaga adalah kritik yang benar, tidak hoax.
Kritik kita membangun, tidak memperburuk keadaan. Kita tentu tidak ingin
sejarah mencatat peristiwa malari terjadi kembali. Kita tentu tidak ingin ada
jatuhan korban nyawa kembali. Maka dari itu, kita harus bangun dan tegap,
kembali mulai memperbaiki diri dan tujuan kita menyampaikan kritik.
Karena tanpa kritik, pemimpin kita tidak akan berkembang. Tanpa kelembutan, kritik kita hanya akan memperburuk keadaan. Itu dosa yang akan kita tanggung untuk anak cucu kita nanti.
Komentar
Posting Komentar