101 MENJADI BAPAK MUDA : Menikah atau Tidak Menikah
Jadi laki-laki itu sulit, kalau gampang, sudah banyak wanita yang mau jadi lelaki
Sebagai
laki-laki, hidup normal itu idaman. Kita sekolah, kuliah, punya teman, travelling, beberapa kali ganti
pasangan, udah cukup. Hanya, kadang keluarga yang bikin susah hati dan jiwa. Tamat
SMA misalnya, sudah ditanya “kapan lanjut kuliah? Kemana kuliah?”. Padahal bisa
jadi kita mau rehat dulu sejenakkan.
Tuntutan
bertubi-tubi menyerang kita. Anak lelaki harus pintar, harus merantau, harus
bisa ini-itu, harus mandiri, dsb. “Tanggung jawab anak lelaki itu besar!”, kata
orang-orang. Dia pemimpin keluarga, harus pandai membawa diri, berprestasi. Bosan
pasti mendengar tuntutan-tuntutan itu. Tamat SMA anak lelaki biasanya masih
diumur 18 tahun. Anak remaja yang masih sangat belia. Yang isi kepalanya
mayoritas ya untuk senang-senang saja.
Ada anak
lelaki SMA yang SMA nya tidak bahagia, di-bully
terus misalnya, tapi dia tetap remaja. Dia akan lebih suka yang senang-senang
dan santai-santai saja. Hidup masih panjang, kenapa harus disegerakan pula
mencapai apa-apa yang diinginkan orang-orang disekitarnya.
Kemudian kuliah,
beberapa anak lelaki mulai dibebaskan hidupnya. Beberapa anak lelaki masa
kuliah ini masa merantau mereka pertama kali. Ada yang mulai belajar bisnis,
organisasi, sosial, atau bahkan pacaran. Hidup mulai terasa menyenangkan pada
ini masa. Usia masih muda, energi masih purna, nafsu lagi diubun-ubunnya, semangat
pun menggelora. Beberapa muda ini ujungnya, ada yang liar hidupnya, ada yang
terkontrol hebat dunianya, ada yang penuh perjuangan jalannya, ada juga yang
setiap detiknya berharga karena penuh cinta dan tipu daya.
Namun,
anak lelaki itu masih muda. Tetap muda. Tamat kuliah paling tua dua puluh lima.
Paling muda kira-kira dua puluh dua. Tuntutan setelah kuliah adalah “kerja
dimana”. Ada anak lelaki yang sudah punya kerja bagus, gaji ok, tapi karena
orang tuanya ingin anak tersebut kerja di perusahaan x, semua capaian hebat
anak lelaki itu seperti tak diakuinya.
Ada juga
loh anak lelaki yang ingin istirahat dulu. Lelah belajar terus, ingin
mengembara, ciut hatinya. Eh, oleh tetangga dicemooh, disangka pengangguran
karena tak punya daya dan usaha. Kuliah pasti hanya main-main saja. Wong,
kerjanya Cuma jalan-jalan saja. Akhirnya anak lelaki itu pun kerja. Yang sudah
kerja tapi belum disukai keluarga, pindah kerja. Yang belum kerja karena belum
mau kerja, akhirnya nyari kerja.
Setelah mulai
bekerja, baru juga satu tahun atau dua-tiga. Pertanyaan setiap kumpul keluarga
berikutnya adalah “Kapan kenalian pacarnya? Kapan nikah?”. Kalau untuk sekolah,
belajar, kuliah, organisasi, pasangan monyet bercinta, sepertinya sah-sah saja
untuk diikuti. Kalau untuk menikah?
Oke, kita
sepakati dahulu bahwa menikah itu panggilan, bukan perlombaan. Seseorang tidak
bisa dinilai telah mencapai hasil terbaik karena duluan menikah ataupun
belakangan menikah, melainkan saat meninggal ia masih didalam pernikahan yang
sama dan ia bahagia.
Itu tidak
bisa kita bandingkan dengan dapat juara dikelas, banyaknya kegiatan sosial yang
sudah dilakukan, banyaknya pacaran monyet yang terlaksana, atau bahkan
pekerjaan yang dengan gaji-gajinya.
Menikah itu
tidak gampang. It is a big deal. Kamu
harus siap paripurna. Hati, mental, fisik, dan kemerdekaan. Bagi lelaki, satu
langkah ia bersetuju untuk menikah artinya satu langkah ia akan mengikatkan
dirinya pada pasangannya selamanya. Maka dari itu, menikah itu tidak segampang
membuat quote-quote indah. Melakukannya satu atau dua jam saja, sekali, tapi
perjalanan yang akan dihadapi itu selama-lamanya.
Kita tidak
bisa menikah dengan alasan “itu orang agamanya bagus ya, aku mau menikahinya”. Ukuran
agama bagus itu hanya dinilai dari yang terlihat saja. Betapa banyak
orang-orang yang mengaku taat agama, tapi istri dan anaknya tersiksa dengan
kekerasaan rumah tangga.
Kita tidak
menikahi agamanya, tapi manusianya. Jika agama terlihatnya memperbaiki
sikapnya, itu kebaikan baginya. Jika agama terlihatnya tidak mempengaruhi
kebaikan sikapnya, tentu, ada banyak orang lain yang lebih elok sikapnya yang
layak kita berikan hati kita kepadanya. Ukuran agama yang terlihat itu bukan
memoles baiknya seseorang untuk dinikahi, melainkan kewajiban yang harus
dipenuhi sebelum diseleksi lagi.
Ingat betul
kita, menikah itu pilihan. Pilihan itu bisa iya bisa tidak. Tidak ada
setengah-setengah. Setengah menikah, setengah single. Tidak ada. Yang namanya pilihan tentu adalah hasil dari alternatif
kejadian yang ada.
Alternatif
pertama, status quo, tidak menikah, tetap single
seperti awalnya. Hidup kita dalam waktu dekat tidak akan ada perubahan. Tidak
ada orang baru disebelah kasur tiap pagi. Tidak ada komitmen yang harus kita
buat-buat agar bisa menyenangkan seseorang. Tidak ada perubahan yang berarti. Hanya,
hidup ini dinamis. Kita bisa bahagia. Tapi sesuai dengan teori penurunan
kebermanfaatan. Semakin lama kita menikmati hal yang sama, kenikmatannya tidak
akan sama. Cepat atau lambat, kita akan bosan tetap sendiri. Cepat atau lambat,
kita akan muak dengan hidup yang sendiri melakukan segalanya. Manusia suka
mencoba hal-hal baru dalam hidupnya.
Cepat atau lambat, kita pasti akan memikirkan untuk menikah.
Alternatif
kedua, menikah. Perlu kita camkan, menikah itu bukan demi orang lain. Bukan demi
orang tua, bukan demi keluarga, bukan demi pak dosen, atasan atau bahkan mantan
kekasih yang meninggalkan kita. Menikah itu harusnya karena diri kita sendiri. Patokan
pernikahannya pun adalah kita sendiri. Kita tidak bisa mencontoh keluarga
selebritis kedalam urusan pribadi kita loh. Menikah adalah urusan pribadi. Urusan
yang harus kita set standard nya
sendiri, versi kita sendiri dan dengan cara kita sendiri.
Meski ada
rambu-rambu yang bisa kita jadikan patokan untuk menikah itu. Semisal memilih
pasangan. Ada 4 hal yang bisa anak lelaki perhatikan betul sebelum memutuskan
siapa yang berhasil lolos seleksi ke tahap akhir sebagai calon istri.
Pertama,
wajah dan fisiknya. Kita manusia. Punya nafsu ya. Wajah dan fisik penting. Yang
baik wajah dan fisiknya, setidaknya memberikan sejuk untuk melihatnya dari segi
fisik saja. Kedua, hartanya. Bilamana
calon pasangan kita ini mandiri, punya harta sendiri, setidaknya keluarga yang
kita bangun lebih kuat pondasinya. Ketiga, keturunannya. Calon pasangan cari
yang sehat dan mampu memberikan keturunan. Selain itu, ia lebih baik berasal
dari keluarga yang baik dan sehat pula. Keempat, sikap dan agamanya. Ini yang
menyelimuti semua hal tadi. Selama kita menikahi karena pertimbangan sikap dan
agamanya, kita akan baik-baiknya.
Wajah itu
bisa bikin bosan kalau kita perhatikan lama-lama. Harta bisa habis dan tak
kekal keberadaannya, jadi pemicu pertengkaran dirumah tangga pula. Keturunan yang
tidak didapat bisa diakali dengan adopsi anak untuk keluarga. Sedangkan sikap
dan agama, itu yang buat kita nyaman untuk selalu berada disekitarnya.
Toh, kita
ingin seseorang disamping kita karena kita nyaman dengan sikapnya kan, bukan
karena wajahnya ataupun hartanya. Miliki 2 dari 4, pernikahanmu punya 100:100
hasil baiknya. Karena pernikahan itu 100:100, bukan 50:50. Tidak ada
kemungkinan dalam pernikahan, yang memungkinkan itu perceraian. Bisa terjadi
bisa tidak. Pernikahan bila sudah terjadi, kita harus bisa bahagia atas pilihan
kita tersebut, yaitu pernikahan kita.
Dari semua cara memilih tadi itu, yang paling penting yang harus kita ketahui adalah bahwa yang terbaik bukanlah yang datang dengan segala kelebihannya. Melainkan, yang tetap bertahan dengan segala kekurangan kita.
Kewajiban
memperbaiki diri, menjadi lebih baik, adalah kewajiban kita. Bukan pasangan. Kita
yang harus menjadi lebih baik untuk diri kita sendiri. Kita tidak bisa menuntut
pasangan kita harus jadi A karena kita B. Kita yang harus baik, sehingga
pasangan mendapatkan manfaat dari kebaikan sikap kita.
Jadi, menikah
itu beratkan? Pertama kita harus tahu motivasi kita, lalu tentukan pilihan
kita, lalu pertanyakan betul apakah kita benar-benar sudah mampu melakukannya.
Jadi untuk menjawab pertanyaan “kapan nikah”, kita tidak bisa benar-benar
segera melakukannya. Sebaiknya juga, jangan diburu-buru ditanya pada anak
lelaki kita. Iya kalau sudah matang dipertimbangkan, menikahlah ia. Kalau belum?
Dia pasti sedang mengambil suatu keputusan yang tersulit dalam hidupnya. Jika itu
sulit, ia salah mengambil keputusan. Siapa yang akan bertanggung jawab atas hal
tersebut?
Memang benar,
hidup ini bukan soal bagaimana mengambil keputusan yang benar saja, melainkan
juga tentang bagaimana bersikap jika kita mengambil keputusan yang salah. Hanya,
jika kita bisa pertimbangkan betul keputusan kita dengan matang dan baik untuk
mengurangi kemungkinan salah, kenapa harus digesa dengan pertimbangan yang
tidak purna?
Ambil waktu
sebanyak-banyaknya untuk mempertimbangkan untuk menikah atau tidak. Jika sudah
yakin akan menikah, pilih dengan pertimbangan terbaik pasangan yang akan
dinikahi. Cinta saja tidak cukup. Memang tidak ada kebahagiaan yang lebih purna
daripada dua pasangan yang saling mencintai dan saling menikahi. Tapi
terkadang, cinta dan menikah bukan satu paket yang harus ada dalam suatu
hubungan nyata.
Menikah itu
pilihan, cinta itu nasib. Kita bisa memilih orang yang akan kita nikahi, tapi
hati kita tak bisa memilih kemana ia melabuhkan cinta ini. Karena hati itu
dipilih, bukan memilih. Kita bisa menikahi siapa saja, tapi kita takkan mampu
rencanakan siapa yang kita cinta.
Suatu ungkapan
manis dari Prof. Dr. Quraish Shihab tentang cinta setelah menikah, “Tidak ada
istilah jatuh cinta, karena jatuh itu tidak disengaja. Sedangkan cinta harus
diusahakan untuknya”. Cinta karena menikah bisa kita asosiasikan kepada
pernikahan. Pernikahan itu tidak dilakukan dengan “tidak disengaja”. Itu
disengaja dan diusahakan bersama. Memilih termasuk salah satu usaha untuk
mempertahankannya.
Setelah memilih,
kita harus pastikan pilihan kita itu akan membawa kita pada bahagia. Setelah menikah,
pernikahan kita itu haruslah menjadi cinta. Ia adalah misaqan ghalidzan (ikatan yang kuat). Kuatnya karena cinta. Cinta itu
indah. Jika pernikahan kita tidak indah, mungkin, mungkin saja, kita telah salah
dalam memilihnya.
Jika kita
merasa kita telah salah, hormati keputusan yang kita buat sebelumnya. Usahakan untuk
pertahankan dengan tanpa mengorbankan kebahagiaan yang kita inginkan. Kita makhluk
hidup yang berhak
bahagia. Hubungan yang tidak membawa pada bahagia, bukan hubungan yang sehat
untuk kita. Kita patut mengubah arah hubungan kita. Kita harus coba pendekatan
berbeda agar bisa membuat hubungan tersebut berhasil. Lakukan percobaan dari
segala arah. Anggap itu adalah kompensasi dari kesalahan dalam pengambilan
keputusan saat kita masih single dahulu kala.
Ketika hati sudah lelah, usaha sudah purna, hubungan juga tidak membaik sebagaimana harapan kita, kuatkan hati untuk bahagia. Ambil keputusan “bahagia” diatas segalanya. Hidup cuma sekali, kenapa harus sengsara?
Komentar
Posting Komentar